Home Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Temui Ajal

Pemberantasan Korupsi di Indonesia Temui Ajal

Jakarta, Gatra.com - Indonesian Corruption Watch (ICW) memuat pernyataan resminya terkait polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menimpa 75 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ICW menilai pemberantasan korupsi di Tanah Air telah menemui ajalnya selepas Pimpinan KPK bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi mengumumkan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk keluar dari lembaga antirasuah itu.

Atas keputusan tersebut, ICW menyimpulkan sejumlah hal.

Pertama, sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan tersebut telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sejak awal sudah ditegaskan bahwa penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal.

TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). "Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK." ungkap ICW dalam pernyataan resminya pada Rabu (26/05).

Kedua, putusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang benderang tidak menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, dalam putusannya, MK sudah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.

"Jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pun mesti dipahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain." tegas ICW.

Ketiga, substansi pertanyaan dalam TWK yang diinisiasi oleh Pimpinan KPK bersama lembaga lain bertentangan dengan hak asasi manusia. Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan TWK menyentuh ranah privasi warga negara. "Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi, pandangan politik, dan Agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung. " jelas ICW.

Keempat, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021 telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling bertentangan. Mulai dari poin Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan. Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan seluruh Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas.

Kelima, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi “Indonesia Memanggil” dan sejumlah pelatihan yang didapatkan pasca terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam penjelasan ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara.

"Jadi, TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK." tegas ICW kembali.

Keenam, pernyataaan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Patut diingat, beberapa waktu lalu Presiden telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK. Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata. Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.

"Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden." terang ICW.

Ketujuh, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK. Sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan organisasi yang mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK. Mulai dari masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum. Untuk menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga mendatangi beberapa lembaga negara, diantaranya Ombudsman dalam konteks perbuatan maladminstrasi dan Komnas HAM.

Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK. Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK.

Atas sejumlah permasalahan itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan. "Kami juga meminta Presiden Joko Widodo untuk memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK serta membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," kata ICW.

735