Home Kesehatan Ribuan Pengaduan Penunggakan Insentif Para Nakes Covid-19

Ribuan Pengaduan Penunggakan Insentif Para Nakes Covid-19

Jakarta, Gatra.com – Fentia Budiman selaku koordinator jaringan Nakes Indonesia menyatakan bahwa sejak Maret 2020 hingga kini, Indonesia berjibaku melawan pandemi COVID-19. Itu sejalan dengan tanggap darurat kesehatan nasional, dengan pembukaan sejumlah Rumah Sakit (RS) lapangan, juga RS rujukan untuk penangananan virus tersebut. 

“Untuk menunjang pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan atau nakes dalam tanggap darurat itu, dilakukan perekrutan relawan nakes, salah satunya di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet,” kata Fentia, dalam keterangan di Jakarta, Senin (31/5). 

Fentia yang selama ini juga dikenal sebagai perawat di Wisma Atlet menyabut di Wisma Atlet, terdapat sekitar 1.485 perawat dan sekitar 200 dokter. Selain itu juga terdapat tenaga kesehatan lain, seperti bidan, epidemiolog, sopir ambulance, sanitarian, apoteker, ahli teknologi lab medik dan elektromedik.

“Terlepas dari kebutuhan tanggap darurat dalam penanganan pasien, kondisi berat yang harus dihadapi oleh para nakes dengan berbagai fasilitas kesehatan atau faskes, adalah menghadapi persoalan yang sama, dengan harus menanggung sejumlah kondisi. Di mana, rasio tenaga medis tidak seimbang dengan jumlah pasien,” ujarnya. 

Di Wisma Atlet katanya, dalam satu kali pergantian jaga, 2-3 perawat harus menangani 60-70 pasien, sementara 1 dokter umum harus memeriksa 180 pasien bahkan lebih. Dalam kondisi tanggap darurat seperti ini, sudah sepatutnya negara perlu memberi perhatian lebih pada beban kerja tenaga kesehatan dengan resiko tinggi tersebut.

Fentia menyebut Jaringan Nakes Indonesia telah membuat posko untuk menerima pengaduan para nakes. Hingga Sabtu, 30 Mei 2021 pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat (WIB), tercatat sejumlah 1.050 tenaga kesehatan sudah memasukkan pengaduan terkait adanya penunggakan insentif nakes. Sebagian nakes mengeluhkan, bahwa tidak adanya penerimaan insentif sejak bulan November 2020 lalu. 

“Namun sebagian besar menyatakan, sejak Desember 2020, mereka tidak lagi menerima insentif dan berlanjut hingga Mei 2021. Untuk bulan Mei 2021 ini juga belum nampak ada pencairan, karena biasanya pencairan insentif diberikan antara tanggal 16-20 setiap bulannya,” katanya.

Fentia menilai kondisi ini sangat memprihatinkan, di tengah tingginya risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh para tenaga kesehatan yang harus menanggung beban penunggakan pembayaran insentif. Padahal, para nakes juga tetap harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, mulai dari transport, makan, tempat tinggal, kuota internet dan lain-lain. Terlebih bagi mereka yang sudah berkeluarga. 

“Selain itu, tanggung jawab yang diemban berkali lipat, terutama bagi nakes perempuan. Keluarga para nakes juga terhimpit antara kebutuhan ekonomi, keinginan untuk bisa berkumpul dan bayangan resiko tertular virus corona,” ujarnya.

Di tengah upaya dalam memperjuangkan haknya, lanjut Fentia, sebagian tenaga kesehatan justru mendapatkan intimidasi serta ancaman untuk dipurnatugaskan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagian nakes mendapatkan jawaban yang kurang simpatik, merujuk pada istilah relawan yang dianggap sebagai pekerjaan sukarela, alias tak berhak mendapatkan insentif, gaji dan tunjangan lainnya. 

Sementara, misalnya di RS Lapangan Wisma Atlet, relawan COVID-19 tidak menerima gaji dan hanya menerima insentif yang sudah masuk terhadap anggaran negara, dalam penanganan tanggap darurat oleh negara.

Diketahui, bahwa besaran insentif untuk perawat dan bidan adalah Rp7.500.000, sedangkan insentif untuk dokter jumlahnya Rp10.000.000, dokter spesialis sebesar Rp15.000.000 dan tenaga kesehatan lainnya Rp5.000.000. 

Bagi para nakes yang telah bekerja merawat pasien dengan penuh dedikasi dan sesuai profesionalitas kerjanya, tentu menjadi pertanyaan besar mengenai alokasi anggaran negara untuk penanganan virus corona. Di mana, dengan terjadinya keterlambatan pembayaran insentif hingga berbulan-bulan, bahkan untuk insentif 2021 masih berupa usulan anggaran. Artinya, setelah pandemi berjalan lewat dari setahun di Indonesia, namun anggaran yang tersedia belum memasukkan insentif ke dalam pengalokasian anggaran negara.

“Situasi ini sangat disayangkan. Apalagi, sebagai pekerja di bidang kesehatan, menurut Undang-Undang (UU) No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, berhak untuk memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional serta berhak memperoleh imbalan jasa,” katanya. 

Hal ini juga bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan Bagian Kedua Pasal 88 Ayat 1 tentang Pengupahan, yakni setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Di samping itu, menanggapi keluhan atas menunggaknya pembayaran insentif para nakes dari sekitar 150 faskes yang tersebar di 15 Kota/Kabupaten dan 20 Provinsi di seluruh Indonesia, atas nama Jaringan Nakes Indonesia, dengan ini mereka menyatakan sikap, yakni menuntut pemerintah untuk melakukan pembayaran tunggakan insentif tenaga kesehatan sejak tahun 2020.

“Menuntut pemerintah mempermudah proses pembayaran insentif tenaga kesehatan serta memberikan informasi secara transparan, adil dan merata dari pusat hingga ke daerah,” katanya.

840

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR