Home Gaya Hidup Peluang Indonesia dan Korsel untuk Capai Ambisi Energi Bersih

Peluang Indonesia dan Korsel untuk Capai Ambisi Energi Bersih

Jakarta, Gatra.com - Pada awal tahun 2020, COVID-19 memberikan dampak serupa terhadap konsumsi listrik di Indonesia dan Korea Selatan, di mana masing-masing konsumsi menurun sebanyak -7,06% dan -2,8%.

Stimulus fiskal Korea Selatan tidak serta merta terfokus pada penanganan darurat kesehatan, tetapi juga untuk membangun momentum pemulihan ekonomi sekaligus memperbaiki isu iklim dan lingkungan melalui program Green New Deal (GND).

Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Indonesia saat ini hanya mengalokasikan 1% dari keseluruhan kerangka pemulihan dalam mendukung agenda transisi energi bersih secara jangka panjang, melewatkan kesempatan untuk merealisasikan pemulihan lingkungan dan ketenagakerjaan berbasis energi bersih melalui implementasi PEN.

Kedua pemerintah memiliki peluang yang terbatas untuk memanfaatkan rencana pemulihan pasca-COVID sembari mempercepat realisasi rencana transisi energi berkelanjutan, meskipun dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa kebijakan jangka pendek serta perubahan struktural seperti linimasa dan target spesifik untuk pengurangan emisi, pembenahan jalur sektoral, dan pembuatan kebijakan atau insentif yang selaras dengan transisi energi.

Indonesia menargetkan komposisi 23% energi terbarukan ke dalam produksi energinya sebelum 2025, sedangkan Korea Selatan berencana memperbesar porsi sumber produksi listrik dari energi terbarukan sebanyak 20% sebelum 2030.

Laporan terbaru CPI “Leveraging fiscal stimulus to improve energy transition: Case of South Korea and Indonesia” menganalisis adanya kesempatan di balik stimulus fiskal COVID-19 dalam menggapai target energi bersih dan transisi energi.

Dikembangkan oleh kolaborasi Climate Policy Initiative (CPI) dan Seoul National University (SNU), studi tersebut juga menawarkan intervensi yang dapat sekaligus menangani keberlanjutan pemulihan ekonomi serta realisasi transisi energi. Laporan teranyar CPI ini merupakan perpanjangan dari studi CPI yang bertujuan untuk mengukur kontribusi pemulihan ekonomi di kelima ekonomi terbesar di Asia terhadap target iklim di masing-masing negara tersebut.

Laporan tersebut menemukan kemiripan antara dampak COVID-19 terhadap sektor energi di Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara menunjukan penurunan konsumsi listrik di sektor industri dan komersial, serta kenaikan permintaan listrik perumahan sebagai dampak dari protokol pencegahan COVID-19. Meskipun begitu, konsumsi energi di sektor industri dan komersial diprojeksikan untuk kembali seperti biasanya sampai pandemi dapat tertangani dengan baik di kedua negara.

Laporan tersebut juga menunjukan bahwa Indonesia dan Korea Selatan memiliki respon penanganan COVID-19 yang mirip dari sisi penanganan darurat kesehatan serta menunjang masyarakat dan bisnis yang rentan. Namun, Korea Selatan berhasil memanfaatkan peluang tersebut untuk lebih dari penanganan darurat kesehatan, tetapi juga memanfaatkan momentum rehabilitasi ekonomi dalam memperbaiki iklim dan lingkungan melalui Green New Deal (GND). Sebaliknya, stimulus fiskal Indonesia atau Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) belum mempertegas tujuannya dalam bidang perbaikan lingkungan.

“Anggaran penunjang transisi energi dari program PEN di Indonesia hanya berjumlah 0,9%. Bappenas (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional) telah menggarisbawahi pentingnya energi bersih bagi ekonomi secara jangka pendek maupun jangka panjang serta pembentukan lapangan kerja yang lebih baik dari energi konvensional dengan mengeluarkan rekomendasi ‘Build Forward Better’. Namun, implementasi tersebut belum terealisasi dalam stimulus fiskal yang ada”, ujar Tiza Mafira, Associate Director di CPI.

“Seperti GND di Korea, Indonesia membutuhkan stimulus fiskal yang mendukung transisi energi sembari memotori pemulihan ekonomi jangka pendek”, tambahnya.

Para penulis dari laporan tersebut juga mengakui bahwa GND di Korea Selatan dan PEN di Indonesia dapat memberikan dorongan yang signifikan bagi sektor lingkungan dan iklim. Namun, beberapa hambatan struktural dan kebijakan yang cenderung bersifat jangka pendek menghambat keberlangsungan jangka panjang.

Global Managing Director CPI, Dr. Barbara Buchner, menegaskan bahwa, “Kita perlu memanfaatkan keuangan publik dengan bijak. Hal ini semakin penting setelah adanya pandemi COVID-19 bahwa keuangan publik memiliki peran penting, tetapi sumber daya yang terbatas harus dialokasikan untuk dampak yang katalistik. Untuk memastikan pengeluaran publik yang efisien dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang, stimulus fiskal perlu mencakup target, linimasa, jalur sektoral, dan rencana yang spesifik dalam mengurangi emisi dan menstimuliasi pemulihan ekonomi.”

Studi tersebut pun memberikan tiga rekomendasi untuk memastikan stimulus fiskal yang dapat mendukung transisi energi secara konkret dan menjunjung pemulihan ekonomi berkelanjutan di Indonesia dan Korea Selatan. Para penulis menyorot secara definitif bagi kedua negara untuk:

Pertama, mendukung pertumbuhan ekonomi jangka pendek sembari menangani target-target terkait iklim, keberlanjutan, dan inklusi ekonomi secara jangka panjang;

Kedua, memastikan pengeluaran publik yang diterapkan secara efisien untuk mencapai tujuan keberlanjutan secara jangka panjang; dan

Ketiga, menciptakan iklim investasi swasta yang menarik bagi proyek transisi hijau, sambil mengurangi tekanan pada pengeluaran publik.


 

238