Home Ekonomi Belajar dari Yogya, Warga Desa Pantau Penanganan Kemiskinan

Belajar dari Yogya, Warga Desa Pantau Penanganan Kemiskinan

Yogyakarta, Gatra.com – Agar tepat sasaran, program penanggulangan kemiskinan pemerintah harus dipantau. Dua desa di DIY bisa menjadi contoh upaya pemantauan dan evaluasi program dengan melibatkan warga.

Atunah (43) masih ingat masa-masa sulit mengurus ibunya tujuh tahun silam. Sang ibu divonis menderita kanker serviks dan harus menjalani serangkaian pengobatan. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, keluarga merasa tak mampu membiayai terapi tersebut dan berharap masuk layanan jaminan kesehatan.

“Tapi ibu enggak punya KIS (Kartu Indonesia Sehat),” ujar warga Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kepada Gatra.com, Rabu (9/6).

Atun, demikian perempuan itu disapa, tak tahu sebab data ibunya tak masuk di skema BPJS Kesehatan dan jaminan kesehatan tingkat provinsi. Karena itu, Atun mengupayakan ibunya menerima jaminan sosial berupa Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang disediakan Pemerintah Kabupaten Bantul.

Menurutnya Atun, saat ibunya dirawat di rumah sakit, kala itu ia mendapat surat rujukan dari puskesmas, lalu disahkan pihak Jamkesda di Pemkab Bantul, baru diserahkan ke pihak RS. Untuk warga miskin, surat keterangan tidak mampu juga harus diurus di kantor desa.

Dana Jamkesda itu harus diurus Atun untuk tiap terapi ibunya karena administrasi itu berlaku sekali pakai. Padahal sang ibu menjalani terapi nyaris tiap bulan selama dua tahun. Walhasil, Atun pun harus bolak-balik ke sejumlah instansi itu. “Kantor Jamkesda sudah kayak rumah sendiri,” tutur ibu tiga anak ini.

Ibunda Atun pun mendapat perawatan dengan skema Jamkesda, kendati ia kemudian berpulang pada 2015. Namun lantaran pengalaman itu, Atun tak ingin susah payahnya mengurus Jamkesda juga dialami warga Bawuran lain.

Sejak itu, ia yang paham alur administrasi Jamkesda aktif membantu warga mengurusnya, bahkan kemudian dilibatkan dalam evaluasi. Untuk memonitor Jamkesda, Atun dan tujuh warga Bawuran ikut melakukan audit sosial atas program penanggulangan kemiskinan tersebut.

Program audit sosial ini digelar pemerintah Desa Bawuran bersama IDEA Yogyakarta, lembaga pemantau kebijakan dan penganggaran publik. “Kami ikut pelatihan buat mendata warga yang mendapat Jamkesda dan seperti apa ngurus-nya,” ujar Atun.

Dalam pelatihan itu, warga diajak untuk ikut memantau penerapan program tersebut. Caranya, mereka melakukan survei ke 50 warga dan mengajukan sejumlah pertanyaan. Antara lain soal akses ke jaminan sosial, susah-gampang prosesnya, hingga biaya yang ditanggung layanan tersebut.

Dari survei pada awal 2021 itu, tim mendapat sejumlah temuan, termasuk seperti pengalaman Atun tujuh tahun silam. “Sekitar 10 persen bilang masih sukar dan ribet buat dapat Jamkesda,” kata Atun.

Menurutnya, sejumlah warga pun mengaku malas mengurus layanan itu, dipersulit, bahkan biaya pengobatan tak ditanggung seluruhnya mengingat plafon Jamkesda sempat turun dari Rp7,5 juta ke Rp 5 juta. “Padahal warga yang mendaftar biasanya sakit berat,” kata dia.

Atun dan warga pemantau telah melaporkan aspirasi itu untuk ditindaklujnuti pihak desa. “Audit sosial oleh warga ini sangat membantu pemerintah desa sehingga program bisa tepat sasaran,” kata Ulu-ulu—staf bidang kesejahteraan—Desa Bawuran, Krisdiyanto.

Ia menjelaskan, sekitar 50 warga desa menerima layanan Jamkesda sepanjang 2017-2019. Mereka tak tercakup dalam program jaminan kesehatan dari pemerintah pusat dan provinsi. “Warga ada yang tidak tercover karena datanya berubah, seperti karena pindah atau nikah,” ujarnya.

Pelibatan warga dalam audit sosial untuk program penanggulangan kemiskinan bukan hanya di Bantul. Di Kabupaten Kulonprogo, tepatnya di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, langkah serupa juga ditempuh untuk mengevaluasi program penanganan stunting atau kuntet pada anak. Di desa ini, tercatat ada 64 anak stunting pada 2018 hingga program penanganannya digalakkan.

Awal tahun ini, sepuluh warga Gerbosari pun mengikuti pelatihan untuk memantau perkembangan program stunting tersebut. “Kami diajari menganalisis kegiatan, sejauh apa berjalan, hasilnya seperti apa, tepat sasaran atau tidak. Harapannya, program pemda dan warga tidak jalan sendiri-sendiri,” tutur Tri Wahyuni (51), warga pemantau program stunting.

Usai pelatihan, mereka 50 responden, seperti orang tua baik yang anaknya stunting maupun yang tidak, pihak desa, dan kader posyandu. Menurut Tri, sejumlah warga memang telah merasakan manfaat program penanganan stunting pemda.

“Tapi ada juga yang belum paham dan belum tahu apa itu stunting,” ujar ibu 2 anak yang juga aktif di posyandu sejak 1990-an ini.

Dari survei itu, warga juga menyampaikan aspirasi seputar penanganan stunting. Misalnya menu di program pemberian makanan tambahan (PMT) untuk anak dan ibu hamil, bahkan termasuk sosok kader posyandu, diminta tak itu-itu saja.

Menurut Tri, survei tersebut menggambarkan upaya penanganan stunting telah menunjukkan hasil. Saat ini tinggal 14-16 anakdi Gerbosari yang mengalami stunting. Program PMT dengan lokasi Rp7,5 juta per tahun juga dirasa tak kurang.

Tri menyatakan kondisi stunting anak ditentukan oleh pola asuh. Orang tua cenderung menyepelekan dan tak telaten menyiapkan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) buatan sendiri. Alhasil, mereka cukup membeli MP-ASI yang nutrisinya kurang lengkap.

Untuk itu, dari survei itu, Tri dan warga pemantau meminta pemda lebih masif melakukan sosialisasi ke warga soal stunting dan pola asuh anak. Jika perlu,bisa dibentuk tim khusus untuk melalukan pendekatan ke orang tua secara kontinyu.

“Tidak hanya di-culke (dibiarkan), tapi harus ada yang tumandang (bertindak). Ekonominya mapan, tapi pola asuhnya bisa amburadul,” tutur ibu dua anak ini.

Carik Desa Gerbosari, Wiwit Tri Raharjo, menyatakan Gerbosari termasuk 10 desa di Kulonprogo yang menjadi lokasi stunting. Untuk itu, pihak desa telah memasukkan penanganan stunting dalam anggaran kesehatan yang mencapai 15 persen dari Rp1,1 miliar dana desa di Gerbosari.

Menurutnya, pemantauan yang melibatkan warga sebagai langkah pemberdayaan masyarakat. “Melalui survei, monitoring, dan adanya tanggapan dari warga pula, kami bisa tahu apakah program kami sudah sesuai kaidah,” kata Wiwit.

Peneliti IDEA Yogyakarta Ferina Anistya menjelaskan pemantauan oleh warga ini sebagai upaya untuk mengajak warga aktif dalam mengevaluasi program pemerintah.

“Warga diajak memetakan persoalan dan menetukan kebutuhan perbaikan. Pertanyaan-pertanyaan bukan muncul dari kami, tapi dari diskusi warga,” tuturnya.

Menurutnya, pemantauan ini justru dapat memperkuat kerjasama pemerintah lokal dan warga. Hal ini mengingat penanganan kemiskinan di sejumlah desa belum optimal. sejumlah desa pun mengakui belum melakukan monitoring karena keterbatasan anggaran.

“Warga misalnya memilih isu kesehatan karena ada yang belum mendapat programnya, informasinya masih minim, dan baru direspons setelah ada kejadian,” kata Ferina.

 

 

265