Home Milenial Pendidikan RI Ketinggalan 128 Tahun, Mengejarnya Jangan Tunggu Pemerintah

Pendidikan RI Ketinggalan 128 Tahun, Mengejarnya Jangan Tunggu Pemerintah

Sleman, Gatra.com – Mayoritas warga Jakarta, yakni 70%, hanya bisa membaca teks singkat dan kosakata dasar, sedangkan 60% punya kemampuan berhitung rendah. Kondisi ini menggambarkan pendidikan Indonesia yang tertinggal 128 tahun. Namun, untuk mengejarnya, tak perlu menunggu kebijakan pemerintah.

Hal itu disampaikan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam diskusi dan pelatihan 'Sekolah Menyenangkan' secara daring dari Sleman, Yogyakarta, kepada 68 guru SMK di Sumatera dan Kalimantan.

Rizal menjelaskan ketertinggalan pendidikan Indonesia itu dari hasil survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan 38 negara pada 2016.

Riset itu menunjukkan kurang dari 1% orang di Jakarta usia 16-65 tahun yang memiliki kompetensi membaca dan berhitung tingkat tinggi. Selain itu, hanya 5,4% orang dewasa Jakarta yang dapat memahami teks panjang dibanding 35,4% rerata warga negara OECD lain.

“Survei di ibu kota negara yang memiliki akses dan fasilitas pendidikan lebih baik dari daerah lain di Indonesia ternyata menunjukkan hasil kualitas SDM yang miris. Bagaimana dengan daerah lain di Indonesia?” ujar Rizal dalam pernyataan tertulis yang diterima Gatra.com, Kamis (17/6).

Rendahnya kemampuan literasi tersebut juga dirasakan oleh guru-guru SMK peserta acara tersebut. Rizal pun menekankan agar para guru menguasai teknik diferensiasi mengajar.

“Tidak fokus pada kurikulum yang menyeragamkan, melainkan menghadirkan pembelajaran yang penuh pilihan serta memantik penalaran anak,” katanya.

Dengan begitu, kata Rizal, anak merasa punya otonomi dalam proses belajar sehingga tidak bosan dan merasa memiliki ruang ekspresi diri sesuai perkembangan dirinya. “Ekosistem belajar ini yang seharusnya dibangun di siswa SMK,” ujar Rizal.

Sistem belajar juga mestinya mengedepankan penalaran dan analisis seperti diterapkan di sekolah-sekolah yang didampingi GSM. “Sekarang, sekolah-sekolah itu sudah memiliki sistem belajar yang mirip dengan sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum internasional,” ucap Rizal.

Menurutnya, pemerintah belum sanggup memperbaiki kondisi pendidikan untuk mengejar ketinggalan pendidikan 128 tahun seperti temuan OECD.

“Diperlukan upaya kultural sekolah-sekolah, seperti pelatihan yang tidak top-down, terus berlanjut, dan tidak dibatasi ketersediaan anggaran. Kadang hanya perlu perubahan sudut pandang dan perilaku dalam mendidik. Tak perlu menunggu perubahan kurikulum atau program baru kementerian,” paparnya.

Widyaiswara Balai Besar di Medan, Pariaman Saragi, menggagas diskusi ini secara mandiri setelah mengikuti webinar GSM pada 2020.

“800 peserta webinar Sekolah Menyenangkan mendapat tantangan pembuatan karya tulis tindak lanjut model sekolah menyenangkan. Alhamdulillah, ada 34 sekolah SMK yang antusias mengirimkan tulisan mereka,” kata Saragi.

11623