Home Ekonomi Tanggapan Didik soal BPK Khawatir RI Tak Mampu Bayar Utang

Tanggapan Didik soal BPK Khawatir RI Tak Mampu Bayar Utang

Jakarta, Gatra.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan kekhawatiranya terhadap kapasitas pemerintah untuk membayar utang. Hal itu diungkapkan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP) LKPP 2020. 

BPK menilai ke depannya kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18% terhadap PDB per April 2021.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Dr. Didik J. Rachbini menilai wajar atas kekhawatiran BPK tersebut. Secara pribadi, Rektor Universitas Paramadina ini juga mengungkapkan memiliki kekhawatiran yang serupa. 

Didik menekankan akan pentingnya Presiden untuk tidak gegabah mengusulkan anggaran dan cacat dalam mengambil keputusan anggaran di DPR.

Didik mengungkapkan bahwa biang keladi dari besarnya utang dan defisit anggaran Pemerintah saat ini tak lepas dari kebijakan politik ekonomi anggaran usulan presiden dan keputusan di DPR.

"APBN sejatinya adalah kebijakan politik atau tepatnya politik ekonomi. Jika ada masalah dengan kebijakan defisit yang besar dan berlebihan karena diputuskan sembrono dan diubah semaunya dari 2 persen terhadap PDB menjadi 3 persen, kemudian dengan gampang diubah menjadi 6 persen lebih maka yang salah adalah kebijakan politik ekonominya." papar Didik, Kamis (24/06).

Menururtnya di masa presiden sebelumnya, politik anggaran dijalankann dengan hati-hati, perubahan defisit dari 1 persen terhadap PDB menjadi 2 persen begitu sulit dilakukan. Tetapi sekarang perubahan defisit dari 2 persen menjadi 6 persen dilakukan dengan gampang dan sembrono karena alasan untuk penanganan Covid-19.

Terkait penanganan Covid-19, Didik menilai Pemerintah tak memiliki strategi yang baik disebabkan oleh kepemimpinan yang kurang memadai. Hal itu terlihat dari pengalaman satu tahun penanganan Covid-19, di mana terdapat perselisihan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, kebijakan, kepemimpinan dan penanganan awal pandemi sangat tidak rasional, dan tampak gagap sehingga situasi yang dihadapi bertambah menjadi lebih berat.

"Pelebaran defisit untuk mengatasi covid-19 tidak benar. Yang masuk akal adalah lobi politik yang kuat masuk ke dalam pemerintahan dan DPR. Selain itu korupsi bisa berpeluang lebih besar dilakukan pada masa krisis, seperti kasus Bansos." jelas Didik.

Didik lantas mengungkapkan bahwa masalah utang yang bersamaan dengan krisis pandemi ini akan menjadi beban berat dan lebih berat lagi pada periode selanjutnya.

"Beban berat utang sekarang ini akan terus bertambah dan kemudian diwariskan pada pemimpin berikutnya," ujar Didik.

Ekonom senior ini berpendapat bahwa rakyat harus bersiap menghadapi masalah berat dalam utang pemerintah yang meningkat pesat 2 tahun terakhir ini.

"Krisis ekonomi yang lebih luas sangat bisa masuk lewat krisis APBN, yang sudah sulit untuk membayar utang di tahun-tahun mendatang. Gejala krisis ekonomi sudah mulai berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa bisa menyebar ke sektor ekonomi lainnya," ujarnya.

Didik menambahkan dampak krisis tersebut berbuntut pada Investor yang mulai tidak percaya, dana luar negeri berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam “Vote of no convidence”.

"Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa terjadi, krisis pandemi, krisis ekonomi dan krisis sosial politik," tegas Didik.

Kondisi tersebut, tambahnya, tak lepas dari mesin politik ekonomi yang cacat dan rusak dan demokrasi yang mengalami kemunduran serta menjadi otorioter. Menurutnya, kebijakan anggaran saat ini menjadi otoriter.

"Pelobi yang dekat dengan kekuasan dapat dengan leluasa meningkatkan defisit dengan sengaja, keputusan dilakukan dengan mudah, sembrono dan salah kaprah seperti sekarang ini tanpa petimbangan teknokratis dan rasional." terang Didik.

311

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR