Home Teknologi Teknologi Nuklir untuk Memetik Setrum dari ‘Neraka’ di Perut Bumi

Teknologi Nuklir untuk Memetik Setrum dari ‘Neraka’ di Perut Bumi

Jakarta, Gatra.com- Listrik untuk kehidupan adalah sebuah keniscayaan. Kebutuhan setrum terus meningkat seiring dengan pesatnya pembangunan. Bahkan di saat pandemi Covid-19 melanda, kebutuhan setrum seolah tidak bisa ditawar. Dari sebagai sumber energi alat-alat kesehatan rumah sakit, hingga untuk produksi oksigen.

Asral Hasan, Kasubdit Pelayanan Kegawatdaruratan Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, mengungkapkan bahwa padamnya listrik PLN menjadi kendala utama macetnya produksi gas oksigen dari pemasok untuk rumah sakit rujukan Covid. “Kalau listrik padam mereka (pemasok oksigen) itu harus me-running lagi alat itu 8 jam kemudian,” kata Asral, Kamis, (1/7).

Kondisi tersebut diketahui terjadi dalam rapat koordinasi Ditjen Pelayanan Kesehatan (Yankes) Kemenkes RI dengan supplier atau vendor oksigen yang berlangsung pada 22 Juni 2021 yang lalu. “Kita bersama dengan PLN agar juga menjaga pasokan listrik yang aman di daerah supaya produksi oksigen bisa benar-benar terbantu,” tambahnya.

Kabar dari Asral tersebut semakin menegaskan bahwa kebutuhan listrik tidak bisa ditawar dalam kondisi apapun. Kebutuhan listrik dari berbagai sektor mengalami peningkatan rata-rata sekitar 9% per tahun dan akan sulit dipenuhi jika hanya mengandalkan sumber energi fosil. Tuntutan akan energi bersih untuk kualitas lingkungan yang lebih baik juga menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pembangkitan listrik.

Dalam hal energi bersih, Litbang Badan Tenaga Nuklir Nasional Indonesia (BATAN) menawarkan nuklir sebagai solusi. Pertimbangannya, dengan nuklir dapat diperoleh solusi energi yang mampu menghasilkan energi yang masif dan konstan. Penerapan teknologi nuklir bagi kehidupan manusia cukup beragam, dari sektor kesehatan hingga energi. Nuklir bisa menjadi solusi untuk kebutuhan melonjak seperti saat ini.

Namun, untuk membangun reaktor nuklir sekala besar untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional masih jauh panggang dari api. Masih tajam pro dan kontranya sehingga belum bisa terealisasi dalam waktu dekat. Namun demikian, peran nuklir di sektor energi tidak pernah surut.

Dengan memanfaatkan isotop alam maupun isotop buatan misalnya, dapat digunakan sebagai alat eksplorasi dan eksploitasi panas bumi. Isotop adalah unsur dengan nomor atom sama, namun nomor massanya berbeda. Isotop mempunyai sifat kimia yang sama karena jumlah protonnya sama tetapi jumlah neutronnya berbeda. Bila jumlah neutron lebih sedikit dari jumlah proton, inti tidak stabil maka inti akan melepaskan energinya berupa radiasi. Isotop dengan inti tidak stabil ini dikenal dengan nama radioisotop.

Isotop alam seperti O-18 (Oksigen 18) dan D (Deuterium/Hidrogen-2), serta isotop radioaktif buatan misalnya I-125 (Iodin 125), berfungsi sebagai pelacak dalam menyelidiki asal-usul dalam sistem panas bumi. Isotop alam juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan atau memperkirakan suhu reservoir atau tangkapan panas dari ‘neraka’ di perut Bumi itu.

Sebagai tracer (pelacak), isotop digunakan untuk mengetahui hubungan antara sumur injeksi dengan sumur produksi. Tujuan lainnya adalah mempelajari sistem hidrologi lebih dalam selama eksploitasi dan mendeteksi perubahan fisik yang mungkin terjadi di reservoir karena pengaruh air yang diinjeksikan. Hasil penelitian dengan isotop tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menentukan apakah eksplorasi panas bumi dapat dilanjutkan atau tidak.

Dengan demikian teknologi nuklir berperan strategis dalam upaya memetik setrum dari neraka di perut Bumi itu. Posisi geografis Indonesia di cincin api Pasifik merupakan keunggulan dari sisi potensi energi panas bumi yang cukup besar. Berdasarkan penelitian, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 28.500 MegaWatt. Potensi panas bumi Indonesia itu baru dimanfaatkan sekitar 4% atau setara 1,2 GigaWatt. Sementara negara lain seperti Filipina sudah mampu memanfaatkan panas bumi hingga 70%.

Indonesia telah memiliki beberapa pembangkit listrik panas bumi seperti Kamojang berkapasitas 200 MW, Dieng berkapasitas 60 MW, Salak berkapasitas 350 MW, dan Wayang Windu berkapasitas 300 MW. Selain itu ada PLTU Lahendong berkapasitas 60 MW.

BATAN bekerja sama dengan Pertamina sejak awal 1990-an dalam penggunaan isotop di wilayah eksplorasi panas bumi Lahendong, Sulawesi Utara. Kegiatan eksplorasi panas bumi di kawasan Lahendong telah dilakukan Pertamina sejak tahun 1982.

Pertamina sangat terbantu dengan dengan hadirnya teknik tracer BATAN. Karena sangan mendukung manajemen dalam produksi sumber panas bumi. Isotop sebagai pelacak membantu dalam menentukan lokasi yang tepat dari sumur reinjeksi dan sumur produksi berikutnya.

472