Home Ekonomi Tiga Alasan RI Sulit Jadi Negara Berpenghasilan Menengah ke Atas

Tiga Alasan RI Sulit Jadi Negara Berpenghasilan Menengah ke Atas

Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Prof. Didin S Damanhuri mengungkapkan bahwa Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi dan politik secara menyeluruh agar tidak terus-menerus menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah.

Seperti diketahui, Bank Dunia belum lama ini merilis laporan “World Bank Country Classifications by Income Level: 2021-2022” di mana memuat data penurunan pendapatan per kapita hampir semua negara di dunia akibat pandmi Covid-19, termasuk Indonesia.

Pendapatan per kapita Indonesia turun dari US$4.050 di tahun 2019 menjadi US$3.870 di tahun 2020. Penurunan pendapatan per kapita ini membuat Indonesia harus kembali masuk pada kategori negara berpendapatan menengah ke bawah.

Didin mengungkapkan sejumlah hambatan Indonesia untuk menjadi negara maju. Pertama, saat ini Indonesia tidak memiliki strategi industrialisasi yang konkrit.

“Indonesia hanya melakukan strategi industrialisasi sejak awal 1980 sampai akhir 1990. Ke sininya tidak ada grand design, tidak ada blue print dan tidak ada peta jalan yang konkrit,” ungkapnya saat diskusi daring bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Selasa (13/07).

Berbeda dengan masa 1980-1990an, menurut Didin, saat ini peta industrialisasi semakin tidak konkrit. Faktor ini menyebabkan Indonesia terjebak sebagai negara berpendapatan menengah, bahkan turun status dari menengah ke atas menjadi menengah ke bawah.

Didin turut menarik sejarah, di mana saat itu Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia, memulai industrialisasi pada 1980-an dengan angka pendapatan per kapita yang sama yakni sekitar 70 dolar Amerika. Namun saat ini Indonesia telah tertinggal jauh dari kedua negara tersebut. Pasalnya, mereka dapat diakatakan lebih konsisten dan masif dalam menjalankan strategi industrialisasinya.

Tercatat pendapatan per kapita Korea Selatan pada 2019 telah mencapai 33.000 dolar Amerika, sempat mengalami penurunan pada 2020 menjadi 31.500 dolar Amerika. Adapun Malaysia 12.500 dolar Amerika pada 2019 dan turun menjadi 11.500 dolar Amerika pada 2020.

Didin berpendapat bahwa pemerintah harus membuat suatu peta jalan industrialisasi yang jelas agar dapat dilakukan evaluasi dari masa ke masa guna mengukur perkembangan industri di dalam negeri.

Hambatan kedua, Didin mengungkapkan bahwa saat ini pelaku ekonomi nasional banyak diisi oleh para pemburu rente. Mereka lebih melihat akumulasi modal tanpa terjun mendalami menjadi pelaku industri.

"Harusnya pelaku industri meningkatkan teknologi, inovasi dan entrepreneurship, sekarang pelaku ekonomi ini main lobi untuk melindungi bisnis mereka agar tetap mengakumulasi kapital," ungkap Didin.

Hambatan terakhir, yakni pascareformasi negara hanya ingin menjadi regulator. Hal ini menyebabkan pelaku swasta yang sebelumnya telah mengakumulasi modal kini mereka secara keseluruhan modal mereka lebih besar dari PDB Indonesia.

“Sementara struktur politik ,partai-partai politik setiap event politik dibiayai oleh pengusaha sehingga terjadi oligarki. Ini yang menghalangi Indonesia untuk meningkatkan teknologi dengan kapasitas inovasi dan entrepreneurship. Karena saat event politik jadi menganggu keseriusan mereka (pengusaha) untuk fokus pada industrialisasi, merebut teknologi, dan entrepreneurship,” pungkasnya.


 

424