Home Kesehatan Protein Hewani untuk Mencegah Stunting

Protein Hewani untuk Mencegah Stunting

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Prof. Damayanti R. Sjarif, mengatakan, tata laksana penanganan stunting sangat tergantung dari penyebabnya. Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, ini pun menjelaskan penyebab stunting sebagaimana didefifinisikan WHO pada 2020.

"Kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada di bawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO 2006, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik," ujarnya.

Kekurangan gizi kronik, lanjut dia, dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai, misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan, dan peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit.

Adapun sakit yang sering diderita, lanjut Damayati dalam keterangan pers pada Selasa (13/7), misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi atau penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus, misalnya bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya.

Mengenai perawakan pendek, ini merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar, yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko penyakit tidak menular, seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan lain-lain pada usia dewasa.

"Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin," katanya.

Penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia 2 tahun, dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90%.

Sedangkan jika pada usia 2 tahun tinggi badan masih di bawah -2 simpang baku maka akan sulit mengejar ketinggalan tersebut, bahkan jika masih berada di bawah -3 simpang baku, berisiko memerlukan pendidikan khusus.

"WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan," ujar Damayanti.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan asupan protein hewani (sumber asam amino esensial yang lengkap dengan bioavailabilitas tinggi) dalam MPASI anak berusia 6-24 bulan merupakan penyebab tingginya angka kasus stunting di 49 negara. Sumber protein hewani adalah telur, ikan, ayam, daging sapi atau kambing, susu termasuk pangan untuk keperluan medis khusus.

Penelitian di Equador membuktikan bahwa konsumsi tambahan sebutir telur sehari selama 6 bulan dapat menurunkan stunting sekitar 47%. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh WHO juga menunjukkan bahwa intervensi segera pada seorang anak yang mengalami weight faltering (kenaikan berat badan per bulan di bawah standar) dapat mencegah stunting 34% di usia 1 tahun dan 24% diusia 2 tahun.

Berdasarkan bukti ilmiah di atas, kata Damayanti, dibuatlah strategi untuk menurunkan prevalensi stunting dan terpenting memberi kesempatan untuk mengoreksi kognitif sebelum 2 tahun dengan cara menyosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau.

Selanjutnya, untuk mendeteksi weight faltering dilakukan pemantauan pertumbuhan di Posyandu serta dilakukan rujukan berjenjang ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, yaitu Puskesmas atau RSUD untuk mencari penyebab serta menatalaksana dengan tepat dan segera. Suatu sistem yang sudah ada sejak tahun 1980-an yang perlu diaktifkan kembali.

Strategi ini juga diujicobakan di Desa Bayumundu, Pandeglang, oleh Tim RSCM/FKUI dengan dukungan Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi, berhasil menurunkan angka stunting 8,4%. Jika ini diterapkan di semua desa di Jawa Barat, rasanya target yang dicanangkan oleh gubernur Jawa Barat mungkin terpenuhi.

Kerja sama lintas sektor antara pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, sektor swasta, hingga masyarakat akan sangat berperan dalam membentuk sumber daya manusia Indonesia yang unggul di masa depan.

Penanganan Stunting Terganggu Pandemi

Penanganan stunting pada masa pandemi Covid-19 sangat terganggu. Bahkan, pemerintah dan pihak terkait fokus mengatasi pandemi. Namun demikian, program-program pencegahan stunting harus tetap diprioritaskan. Bila tidak, kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak-anak Indonesia jelas terdampak.

Program-program pencegahan stunting harus tetap dimaksimalkan pada masa pandemi ini menjadi bahasan khusus dalam webinar "Aksi Bersama Dalam Upaya Pencegahan Stunting untuk Mencapai Target 14% pada 2024".

Pemerintah telah menargetkan penurunan stunting hingga 14% pada 2024. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Nina Susana Dewi, mengatakan stunting merupakan salah satu indikator prioritas dalam SDGs dan target tahun 2030 adalah terbebas dari malnutrisi. "Melalui penanggulangan stunting human capital index Indonesia akan meningkat," ujarnya.

Sementara itu, Ketua TP PKK Provinsi Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil, menyampaikan masih tingginya permasalahan gizi dan tingginya stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan.

"Saya khawatir focus kita ke pandemic menjadi hal yang perlu dipersiapkan lebih matang untuk stunting ini karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa dilupakan atau tidak optimal," katanya.

Pencegahan stunting pada masa pendemi ini diakui Atalia sangat terkendala, salah satunya tidak adanya posyandu dikarenakan khawatir terjadinya terjadi penularan virus corona. Meksi ada beberapa posyandu belum tutup, yaitu posyandu keliling, namun ini juga tidak optimal karena kondisi PPKM Darurat Jawa, Bali, dan sejumlah daerah lainnya.

Selain itu, Atalia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat betapa pentingnya dampak stunting ini. Target 14% angka stunting pada 2024 menjadi pekerjaan rumah, termasuk juga harus berkomitmen zero new stunting di tahun 2023.

Sebagai seorang yang bergerak langsung dengan masyarakat, khususnya bahwa masih banyak anak stunting disembunyikan, ada stigma di masyarakat bahwa stunting hanya berlaku di masyarakat yang ekonominya rendah atau di pedesaan saja.

Selain itu, perlu terus disosialisasikan dan edukasi soal masih tingginya usia pernikahan anak, yakni 26% di bawah 18 tahun 40% pernikahan berisiko melahirkan anak stunting. Edukasi ini termasuk pola asuh, makan, dan sanitasi harus dilakukan secara kolaboratif,

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Marion Siagian, menyampaikan bahwa angka prevalensi stunting di Jawa Barat berdasarkan survei status gizi dan balita tahun 2019 sebesar 26,2%. Angka ini masih tinggi. Target nasional sebesar 14% dan 19% untuk Jabar, membuat Jabar yang mempunyai 23 kabupaten atau kota harus terus berbenah.

Stunting ini disebabkan oleh faktor multidimensi sehingga penanganannya perlu dilakukan oleh multisektor. Salah satu penyebabnya, di antaranya dipengaruhi oleh praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, termasuk layanan Ante Natal Care (ANC) dan pembelajaran dini yang berkualitas, kurangnya akses ke makanan yang bergizi, air bersih, dan sanitasi yang layak.

Strategi Jabar Zero Stunting melakukan satu “Gerakan Masif” untuk mewujudkan prevalensi stunting pada tahun 2023 menjadi lebih kecil dari standar WHO (Stunting < 20%). Jabar sudah memiliki Pergub 107 Tahun 2020 tentang Penurunan Stunting di Daerah Provinsi Jawa Barat.

Selain itu, kata Marion, ada juga kesepakatan bersama Pemprov Jabar dengan beberapa perusahan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup di Jabar melalui pencegahan stunting dan malnutrisi.

Vice President General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto. (Ist)

Vice President General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto, mengatakan, untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, namun dibutuhkan kolaborasi multipihak.

"Yang paling penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk mengubah mindset, pola pikir, dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia," ujarnya.

Menurut Vera, melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, pihaknya mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan.

"Sejak 2019, Danone Indonesia bersama Pemprov Jabar telah melakukan kolaborasi dalam upaya penanganan stunting pada 14 kabupaten/kota prioritas di provinsi Jawa Barat," ujarnya.

Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi.

1426