Home Hukum KontraS: Kepolisian Dominasi Jumlah Penyiksaan

KontraS: Kepolisian Dominasi Jumlah Penyiksaan

Jakarta, Gatra.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sudah merilis laporan tahunan mengenai Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia periode Juni 2020-Mei 2021 pada akhir Juni kemarin. Salah satu poinnya adalah bahwa jumlah kekerasan fisik yang terjadi pada periode tersebut mayoritas dilakukan oleh penegak hukum.

“Penyiksaan yang terjadi secara fisik itu masih didominasi oleh kepolisian,” ujar Wakil Koordinator KontraS, Rivan Lee Ananda, dalam diskusi publik bertajuk Masifnya Praktik Cyber-torture di Indonesia: Negara Hanya Diam yang digelar secara daring pada Rabu, (14/7/2021).

Rivan menilai bahwa hasil temuan tersebut telah menjadi sebuah kelaziman karena kepolisian menjadi suatu institusi yang secara langsung menangani kasus tertentu. Ia menuturkan bahwa motifnya berupa penghukuman dan penyiksaan.

“Banyaknya dilakukan di ruang tertutup seperti ruang penyidikan, ruang tahanan, dan lain sebagainya dan kemudian terjadi juga di ruang-ruang terbuka,” ujar Rivan.

Menurut laporan yang dirilis ke publik pada 25 Juni 2021 tersebut, KontraS mencatat adanya 80 penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang terjadi di Indonesia sepanjang Juni 2020-Mei 2021. KontraS menghimpun data tersebut dari kanal media informasi, advokasi, dan jaringan-jaringan KontraS di daerah-daerah.

Dari sejumlah 80 kasus penyiksaan tersebut, KontraS mencatat bahwa kepolisian masih menjadi pelaku utama dalam kasus-kasus penyiksaan tersebut, yakni sebanyak 36 peristiwa atau sebanyak 45%.

Lalu, berdasarkan laporan tersebut, di urutan berikutnya adalah kejaksaan dengan 34 kasus atau sebanyak 42%. KontraS mencatat bahwa penyiksaan yang dilakukan oleh kejaksaan didominasi oleh peristiwa penghukuman cambuk di Aceh.

Kemudian, KontraS mencatat bahwa di urutan selanjutnya ada institusi TNI (AD, AL, atau AU) yang mencatatkan sebanyak 7 kasus atau sebanyak 9%. Lalu, urutan tersebut disusul oleh jumlah penyiksaan oleh sipir sebanyak 3 kasus atau 4%.

KontraS mencatat bahwa dari sebanyak 80 kasus tersebut, terdapat korban luka dan bahkan korban tewas. Rinciannya adalah sebanyak 166 korban mengalami luka dan sebanyak 16 korban dinyatakan tewas.

Selain itu, KontraS mencatat bahwa sejumlah penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi tersebut mayoritas terjadi dalam proses penegakan hukum. KontraS juga menilai bahwa penyiksaan-penyiksaan tersebut bersifat sistematis lantaran dilakukan oleh aparat penegak hukum atau oleh orang lain, dengan sepengetahuan dan sepersetujuan aparat penegak hukum, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, dan dilakukan dalam segala bentuk baik fisik, psikis, seksual, bersifat berpola, dan didorong oleh motivasi tertentu.

KontraS menilai bahwa dalam melakukan penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, aparat sering kali melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka dan/atau korban tindak pidana. Selain untuk mendapatkan pengakuan, KontraS juga mencatat bahwa penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya juga ditujukan untuk semata-mata memberikan hukuman terhadap kasus yang disangkakan.

Di samping itu, KontraS juga menemukan bahwa alat yang digunakan oleh aparat dalam melakukan tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya masih cenderung beragam. Berdasarkan pematauan media yang telah dijalankan, KontraS mencatat bahwa benda keras menjadi instrumen paling dominan dalam melakukan penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya, yakni sebanyak 42 peristiwa.

“Jadi penyiksaan dari 2020-2021 itu masih terjadi pola-pola yang sama dengan tahun sebelumnya. Kita tidak mengacu lagi kepada naik-turunnya angka kasus penyiksaan, tapi pada pola yang terus saja berulang dari tahun ke tahun tanpa adanya perbaikan,” ujar Rivan.

149