Home Hukum KontraS: Kepolisian Kurang Bisa Diandalkan untuk Usut Penyiksaan Siber

KontraS: Kepolisian Kurang Bisa Diandalkan untuk Usut Penyiksaan Siber

Jakarta, Gatra.com – Wakil Koordinator KontraS, Rivan Lee Ananda, mengungkapkan bahwa dalam mengatasi masalah penyiksaan daring (cyber torture), publik masih tetap mengandalkan kepolisian untuk menyelesaikannya. Namun, ia berpendapat bahwa kepolisian tidak cukup mampu untuk melakukannya.

“Di sektor penyiksaan siber kita juga mau tidak mau bergantung kepada kepolisian sebagai lembaga yang memiliki divisi-divisi untuk membongkar praktik-praktik yang terjadi di dunia maya,” ujar Rivan dalam diskusi publik bertajuk "Masifnya Praktik Cyber-torture di Indonesia: Negara Hanya Diam" yang digelar secara daring pada Rabu (14/7).

“Ada divisi cyber-nya, terus juga ada BSSN di luar kepolisian. Terus kemudian juga ada BIN yang memiliki alat tetapi dia tidak bisa melakukan penindakan tertentu. Nah, sejumlah instrumen-instrumen itu yang mengawasi kita selama ini. Namun, mereka tidak cukup atau tidak bisa membongkar praktik-praktik yang selama ini terjadi,” imbuh Rivan.

Merujuk pada laporan reporter PBB, Nils Melzer, Rivan menyebut bahwa pelaku penyiksaan daring bisa berasal dari negara maupun non-negara. Untuk konteks Indonesia, ia menyebut bahwa sejauh ini belum ada kasus penyiksaan daring yang terbukti dilakukan oleh aktor negara secara langsung.

Rivan menambahkan bahwa mayoritas pelaku penyiksaan daring di Indonesia merupakan pelaku non-negara. Aktor-aktor tersebut bisa meliputi sumber anonim di dunia maya dan akun-akun media sosial yang tidak teridentifikasi identitasnya.

“Kita bisa menduga, tetapi kita tak bisa memastikan siapa orang-orang di balik akun tersebut yang melakukan defamasi, penyebaaran data pribadi/doxing, dan lain sebagainya,” ujar Rivan.

Lalu, Rivan juga menduga bahwa penyiksaan daring di Indonesia kerap kali dilakukan oleh simpatisan-simpatisan yang memiliki kekaguman tertentu kepada tokoh publik. “Jadi ketika ada tokoh tertentu diserang, maka bergeraklah itu pola-pola cyber torture,” ujarnya.

Rivan menuturkan bahwa KontraS sudah memantau masalah penyiksaan siber ini sejak tahun 2020. Dari pemantauan tersebut, ia mencatat dua hal penting. Pertama, penyiksaan siber tersebut dilakukan secara anonim di dunia maya. Kedua, kasus penyiksaan siber tersebut telah dilaporkan kepada aparat negara.

“Artinya, kepolisian sudah mengetahui secara resmi. Artinya ada pelaporan dari korban ke yang bersangkutan,” ujar Rivan.

Pada tahun 2020, KontraS memantau dua kasus, yaitu kasus seorang aktivis bernama Ravio Patra dan kasus diskusi mahasiswa UGM. Telepon pintar Ravio diduga diretas dan ia dituduh menyebarkan ajakan penjarahan.

Sementara itu, panitia diskusi di UGM mengenai pemakzulan presiden mengalami peretasan akun WhatsApp dan media sosial. “Bahkan ada cara-cara yang kotor, yakni dengan mengirimkan pesanan ojek online atau makanan yang kemudian ditagihkan kepada [panitia],” tutur Rivan.

“Nah, kedua kasus tersebut sejatinya sudah diketahui oleh kepolisian. Namun, sayangnya, tidak ada langkah yang konkret dari kepolisian untuk membongkar praktik tersebut,” tutur Rivan.

Menurut Rivan, tiadanya langkah konkret dari kepolisian tersebut berkonsekuensi kepada praktik-praktik cyber torture berikutnya yang belakangan ini terjadi lagi, seperti peretasan terhadap anggota BEM UI setelah mereka megeluarkan kampanye The King of Lip Service beberapa waktu lalu.

“Praktiknya hampir sama, ada peretasan, ada doxing yang dilakukan oleh simpatisan-simpatisan tertentu, tetapi tidak tahu siapa yang melakukannya. Kita hanya bisa tahu itu dilakukan oleh anonim, tetapi kita tidak tahu bagaimana melindungi dari praktik-praktik tersebut, bagaimana membongkar praktik tersebut, dan siapa yang harusnya bertanggung jawab dan harusnya bagaimana mereka yang melakukan tindakan penyiksaan secara siber ini itu ditindak oleh pihak kepolisian,” kata Rivan.

136