Home Politik Ini Prediksi Pengamat soal Presiden Belum Ajukan Calon Panglima TNI

Ini Prediksi Pengamat soal Presiden Belum Ajukan Calon Panglima TNI

Jakarta, Gatra.com – Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS),Khairul Fahmi, berpendapat bahwa ada beberapa kemungkinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menyerahkan nama calon pengganti Panglima TNI kepada DPR.

Pertama, kata Fahmi dihubungi pada Selasa (27/7), karena masa jabatan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto masih relatif lama. Hadi pensiun pada November mendatang. Dengan demikian, Presiden berpandangan belum terlalu mendesak untuk menyerahkan nama calon pengganti.

Menurutnya, pengusulan nama calon panglima merupakan hak dan kewenangan atau prerogatif Presiden dan sepanjang belum ada kondisi mendesak maka Presiden bisa memilih waktu yang dianggap tepat.

"Hanya Presiden yang berhak menentukan waktu terbaik untuk mengganti Panglima TNI dan mengusulkan calon penggantinya ke DPR," ujarnya.

Kemungkinan kedua, lanjut Fahmi, bisa juga bahwa Presiden tidak melihat masa aktif ketiga kepala staf, baik AL, AD, dan AU yang juga diangkanya. Ada 2 kepala staf yang relatif baru dan 1 lagi justru sudah relatif lama.

Menurut Fahmi, hal tersebut pada dasarnya menunjukkan kelemahan Presiden dalam membuat kalkulasi proyeksi kepemimpinan di tubuh TNI. Selain itu, bisa jadi belum munculnya nama karena kuatnya pertimbangan politis sehingga membawa implikasi problem regenerasi kepemimpinan TNI.

Namu demikian, kata Fahmi, sesuai ketentuan undang-undang (UU), bagaimanapun Presiden tetap harus memilih salah satu, apakah dari AD, AL, dan AU. Terkecuali ada pergantian di jajaran kepala staf dalam waktu dekat sehingga akan memunculkan nama baru di luar nama yang ada saat ini.

Adapun hal keempat, kata Fahmi, kepentingan politik dalam penentuan calon panglima TNI merupakan keniscayaan. Pasalnya, proses pengisian jabatan ini merupakan proses politik, yakni Presiden mengusulkan dan DPR akan menyetujui atau menolak kandidat yang diajukan.

Adapun yang tidak patut dalam proses politik ini, menurut Fahmi, yakni jika para 'bakal calon' kemudian memakai instrumen kekuatan partai politik tertentu untuk memperkuat peluang agar dipilih Presiden melalui komunikasi dan negosiasi politik.

"Sulit membayangkan hal itu akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual," katanya.

Menurutnya, jika hal ini terjadi dan proses politik berpihak pada pihak yang melakukan maka akan sulit bagi publik untuk memandang objektif kiprah kelembagaan TNI. Selain itu, sulit juga bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang 'getol' mendukung Panglimanya.

Ia melanjutkan, sulit juga membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya. "Jadi dari poin ini jelas, kepentingan politik itu niscaya tetapi kan baru kali ini ada kontestasi calon Panglima yang para politisi begitu getol mengarahkan pada nama tertentu," ujarnya.

Keempat, lanjut Fahmi, menjadikan tahun penyelenggaraan hajatan demokrasi (Pemilu) sebagai variabel yang seolah-olah sangat penting dalam penentuan calon Panglima TNI, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Dalam era tersebut TNI memiliki peran dominan dan sangat penting dalam agenda sosial politik negara dan pengelolaan pemerintahan.

"Salah satu agenda reformasi adalah menjadikan TNI sebagai alat negara yang profesional dan mumpuni dalam menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional dengan membatasi peran dan pelibatannya di luar agenda politik negara. Apalagi dalam urusan-urusan politik sektoral bahkan elektoral. Saat ini, netralitas TNI mestinya adalah harga mati," ucapnya.

Dua nama jenderal yang saat ini santer dibicarakan dan disebut-sebut akan mengisi posisi Panglima TNI, yakni KSAL Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Andika Perkasa. Namun demikian, pengusulan kandidat merupakan hak prerogatif Presiden.

2202