Home Ekonomi Nestapa Pengusaha Wisata Guci Tegal: Berutang untuk Makan, Anak Berhenti Kuliah

Nestapa Pengusaha Wisata Guci Tegal: Berutang untuk Makan, Anak Berhenti Kuliah

Slawi, Gatra.com - Pemandangan tak biasa terlihat di kawasan obyek wisata Guci, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sudah sekitar dua bulan terakhir, destinasi wisata yang terletak di kaki Gunung Slamet itu sepi dari wisatawan.

Deretan home stay dan vila yang berada di pinggir jalan tak tampak ada yang menyewa. Di depan tempat penginapan yang berjumlah puluhan itu terpasang bendera putih sebagai tanda menyerah dengan keadaan.

Pemandangan serupa juga terlihat di deretan warung makan dan kios yang menjual oleh-oleh. Mayoritas para pedagang memilih menutup usaha mereka karena tidak ada wisatawan yang datang.

Padahal, setiap hari terutama pada libur akhir pekan dan nasional, Guci selalu ramai oleh wisatawan. Mereka tak hanya datang dari Kabupaten Tegal dan sekitarnya, tetapi juga dari luar Jawa Tengah. Banyaknya wisatawan yang datang bahkan kerap membuat akses jalan utama menuju Guci macet.

Salah satu pedagang makanan di Guci, Rohati (38) mengaku lebih sering tak berjualan sejak Guci mulai ditutup pada 8 Juni 2021 lalu karena tidak ada wisatawan. "Sepi, enggak ada pengunjung, jadi jualan enggak laku," kata Rohati saat ditemui Jumat (30/7).

Sebelum ada pandemi, Rohati bisa mendapat penghasilan Rp200 ribu hingga Rp300 ribu sekali berjualan. Dia biasanya mulai berjualan mulai pukul 06.00 WIB dan tutup pukul 17.30 WIB. "Sekarang mau cari Rp100 ribu saja susah banget," ujarnya.

Rohati membuka usaha kecil-kecilan itu untuk menambah penghasilan keluarga. Sebab sang suami hanya bekerja menjadi kuli serabutan. Seperti Rohati, penghasilan suaminya juga tak menentu, tergantung pada ada tidaknya orang yang membutuhkan tenaganya.

"Sekarang keadaan lagi seperti ini, jarang yang nyuruh-nyuruh suami untuk mengerjakan apa," tutur Rohati.

Ibu dua anak itu pun terpaksa berutang ke koperasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan membayar listrik rumah yang ditinggali bersama kakak dan sejumlah keponakannya.

Dia juga harus menjual dua sepeda motor karena terdesak kebutuhan uang. Satu motor dijual untuk menutup modal jualan saat Guci untuk pertama kalinya ditutup pertengahan tahun lalu karena pandemi Covid-19.

"Terus buat modal jualan saat libur Lebaran saya minjem uang lagi. Tapi pas Lebaran Guci ternyata ditutup lagi, nggak bisa jualan. Pas sudah harus bayar utang belum ada uang, jadi jual lagi satu motor. Satu motor harganya Rp4 juta. Motornya keluaran tahun lama, makanya murah," ungkapnya.

Kondisi sulit yang sedang dialami Rohati juga membuat anak sulungnya, Laelatul Inayah (20) terpaksa berhenti kuliah sementara. Sebab Rohati tak sanggup membayar biaya semester yang mencapai Rp4 juta.

"Anak saya kuliah di Unnes (Universitas Negeri Semarang). Ini sudah masuk semester dua. Biaya per semester Rp4 juta. Pas semester satu masih bisa bayar, semester kedua nggak bisa bayar. Akhirnya keluar, cuti dulu. Pas cuti sempat kerja di home stay tapi sekarang berhenti karena tidak ada pengunjung," ujarnya.

Rohati pun berharap pemerintah memperbolehkan tempat wisata kembali dibuka agar dia bisa berjualan lagi serta mendapat penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan membiayai kuliah anaknya.

"Anak ingin lanjut kuliah. Makanya saya usaha kecil-kecilan supaya anak bisa kuliah. Dia cita-citanya jadi guru," ucapnya.

Ketua Paguyuban Pondok Wisata Guci Sopan Sofiyanto mengatakan, terdapat sekitar 700 pelaku usaha di obyek wisata Guci. Sebanyak 95 persen di antaranya sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari wisatawan yang datang ke Guci.

Praktis sejak Guci ditutup pada 8 Juni 2021 karena kebijakan Pemerintah Kabupaten Tegal disusul adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan Level, mereka kehilangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Sedangkan angsuran di bank tidak ada hari liburnya selama wisata ditutup. Kebutuhan pokok dan kebutuhan anak juga harus terpenuhi. Apalagi sekolah kan daring, perlu pulsa," ujarnya.

Sopan menyebut selama Guci ditutup, pelaku usaha kecil di Guci yang tak memiliki sumber penghasilan lain mencoba bertahan dengan berbagai cara, di antaranya menjual sepeda motor dan menggadaikan sertifikat berharga yang dimiliki.

"Harapannya Guci dibuka kembali, tapi cara-caranya kami bingung, harus seperti apa. Dengan pengibaran bendera putih, harapannya ada solusi?," ujarnya.

Menurut Sopan, sejak pandemi melanda, pelaku usaha di Guci sudah mematuhi ketentuan pemerintah terkait protokol kesehatan ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sehingga pelaku usaha sudah siap jika pemerintah membuka kembali tempat wisata dengan protokol kesehatan ketat.

"Sejak satu tahun lalu pelaku usaha sudah menuruti protokol kesehatan. Cuma ada PPKM kita tidak bisa apa-apa?. Pasrah dengan keadaan," katanya.

1958