Home Hukum Definisi Sempit Hukum Perkara Kasus Perkosaan, Sering Rugikan Korban

Definisi Sempit Hukum Perkara Kasus Perkosaan, Sering Rugikan Korban

Jakarta, Gatra.com - Substansi hukum yang mengatur kasus perkosaan di Indonesia dianggap masih sering menyumbang hambatan bagi para korbannya. Hal itu disampaikan oleh Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Theresia Sri Endas Iswarini.

Theresia menyebut hambatan itu dipicu karena definisi dalam aturan hukum yang ada masih  sempit. Ia pun memberikan contoh Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang di dalamnya memuat unsur perkosaan terhadap perempuan, di luar ikatan perkawinan, beserta ancaman.

"Ini memperlihatkan bahwa korban masih melulu perempuan, padahal bisa terjadi pada laki-laki, gender neutral," kata Theresia dalam diskusi Peringatan Ratifikasi CEDAW: Pemenuhan Hak Korban Pemerkosaan dalam Perspektif HAM Perempuan yang disiarkan secara virtual pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Selain itu, dalam pasal menyinggung hanya soal ikatan di luar perkawinan, tetapi tidak mengakui unsur perkosaan dalam perkawinan atau disebut marital rape. Theresia meyakini banyak kasus kekerasan seksual terjadi yang tak ditampung dalam pasal itu.

"Kemudian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, ini juga problem karena kita menegasi unsur consent atau persetujuan. Kesannya kalau orang suka sama suka tidak ada perkosaan. Penetrasi juga disempitkan, hanya penetrasi alat kelamin laki-laki dan perempuan. Ini jadi concern pelapor khusus untuk memberi masukan terkait hukum nasional," dia menjelaskan.

Tak hanya Pasal 285, Theresia menyebut pada Pasal 289 KUHP juga dihapuskan pada soal ancaman, pemaksaan hubungan seksual yang tidak sampai pada unsur keluarnya air mani. Menurutnya, hal ini menjadi masalah.

"Ini problem lain, karena ketika menjadi salah satu unsur yang harus dipenuhi, maka pemaksaan seperti masturbasi, oral seks, anal seks, dan penggunaan alat lain itu tidak masuk dalam tindakan perkosaan, tapi masuk yang disebut pencabulan," dia menerangkan.

Akibat definisi sempit di atas, Theresia mengatakan bahwa tindak pidana perkosaan yang menekankan pada pembuktian, ada atau tidaknya kekerasan sebagai penanda pemerkosaan, maka visum sering kali jadi bukti utama dalam lanjut atau tidaknya proses hukum. 

Theresia menyebut hal itu sudah dilakukan di tingkat kepolisian, saat korban melaporkan kasus.

Theresia menyayangkan hal itu sebab bisa saja penegak hukum menganggap kasus yang dialami korban tak terpenuhi dalam pasal-pasal itu.

"Ini relasinya dengan alat bukti sehingga meski pun bukti lain mendukung kesaksian korban, sementara visum tidak mendukung atau pelaku tidak mengakui, atau sebaliknya menyatakan ada consent, persetujuan, dalam hubungan tersebut, maka biasanya penegak hukum cenderung tidak memproses kasus hukum tersebut," pungkasnya.

Lebih lanjut, Catatan Tahunan (Catahu) 2020 yang dibuat Komnas Perempuan mengungkap banyak tragedi kekerasan berbasis gender terjadi di ranah personal. 

Adapun kasus yang paling banyak dilaporkan adalah perkosaan, persetubuhan, dan pencabulan. 

Theresia menyatakan ini peringatan khusus sebab saat pandemi Covid-19 banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di ranah personal, rumah tangga, muncul lebih banyak.

"Pelaku kekerasan seksual paling banyak itu pacar. Orang-orang paling dekat yang sangat dikenal korban," dia mengungkapkan.

Dia melanjutkan, terjadi peningkatan signifikan kekerasan seksual dengan range khusus pada kelompok rentan itu 80% meningkat di ruang personal, 10% di ruang publik. 

Adapun kelompok rentan yang kerap terkena kekerasan seksual di antaranya perempuan disabilitas terutama untuk disabilitas mental, perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan minoritas seksual, perempuan pekerja, ada juga yang dialami perempuan pembela HAM.

1101