Home Hukum Perkara Jiwasraya-Asabri, Analis: Pelaku Pasar Khawatir!

Perkara Jiwasraya-Asabri, Analis: Pelaku Pasar Khawatir!

Jakarta, Gatra.com - Hasil survei KedaiKopi yang mengungkap penegakan hukum dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) mempengaruhi kinerja pasar saham ataupun investasi di Indonesia bukan isapan jempol belaka.

 

Beberapa investor asing yang kabur dari Indonesia antara lain, Morgan Stanley Sekuritas Indonesia broker saham dan lembaga keuangan internasional, PT Merrill Lynch Sekuritas Indonesia dan Citibank Indonesia, PT Deutsche Bank Sekuritas Indonesia dan PT Nomura Sekuritas Indonesia juga telah resmi mengumumkan mengurangi bisnis jual beli saham di Indonesia.

 

Selain itu, posisi investasi internasional (PII) Indonesia mencatatkan kewajiban neto pada tahun lalu US$ 281,2 miliar, turun dari US$ 337,9 miliar pada 2019. Bahkan dalam survei terbaru Bank Dunia di laporan terbarunya yang bertajuk Global Investment Competitiveness (GIC) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling restriktif dalam konteks penanaman modal asing (FDI), hal ini mengindikasikan bahwa RI masih belum seramah dan terbuka itu terhadap investor.

 

 

Bahkan dalam survei Indonesia Political Opinion, Kejaksaan masuk 20 besar lembaga yang rendah tingkat kepuasan responden terhadap kinerja lembaga nonkementerian.

 

Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan bahwa setiap kasus hukum yang menjerat salah satu emiten akan membuat harga suatu saham akan turun. "Karena pelaku pasar itu sangat khawatir, dan membuat harga saham terkait mengalami penurunan. Bahkan dalam sebuah diskusi pelaku pasar, jika ada oknum yang bersalah maka diperlakukan sebagai entitas pribadi, bukan perusahaannya yang dibekukan atau sebagainya," kata Reza dalam webinar 'Perilaku Abuse of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum', di Jakarta, Senin (16/7).

 

Yang perlu masyarakat tahu, lanjut Reza, apakah kejaksaan itu cukup paham atau tidak terkait dengan penanganan investasi di pasar modal itu seperti apa. Begitu pula soal pemahaman unrealized loss dalam sebuah transaksi saham. 

 

Reza pun mencontohkan Asabri-Jiwasraya membeli saham A dengan harga 2730, dan setelah 3 bulan investasi ternyata harga sahamnya turun ke 2630. "Akhirnya secara pembukuan dia sudah mengalami kerugian berapa? 100 poin. Nah 100 poin itulah yang disebut sebagai unrealized loss. Jadi ruginya itu masih rugi potensial, seperti itu. Terus tiba-tiba datanglah aparat penegak hukum meriksa si MI ini, terus menganggap si MI ini merugikan negara. Lah yang merugikan negara itu siapa gitu, atas dasar apa merugikan negara. Lalu, kemudian uang negara yang mana yang dirugikan," ujarnya lagi.

 

Menurut dia, status merugikan negara itu misalkan ada dana APBN yang sekian triliun terus kemudian dipakai hal yang tidak benar maka baru dianggap merugikan negara. 

 

"Tapi ini ada uang nasabah yang diinvestasikan ke dalam suatu portofolio, kok ini dianggapnya ada kerugian negara? Kan uang negara hanya digunakan untuk mendirikan perusahaan asuransi ini. Jadi sebenarnya aset perusahaan asuransi berupa saham ini dana nasabah pemegang polis atau punya negara. Apa yang salah, sampai sekarang nalar kita belum nyampe terkait dengan penanganan kasus ini. Sungguh proses hukumnya sangat diluar nalar," katanya.

 

Ia pun berharap jangan sampai karena ada penanganan kasus hukum di pasar modal yang salah justru mempengaruhi kepercayaan investor. Apalagi saat ini market cap berdasarkan statistik pasar modal Indonesia sudah mencapai Rp 7.100 triliun. 

 

"Anggaplah misalkan, pada akhirnya karena proses hukum ini menyebabkan polis dari Asabri maupun Jiwasraya tidak bisa dicairkan. Terus kemudian, Jiwasraya dan Asabri anggaplah masing-masing memiliki 500 investor, terus mereka gak percaya lagi dengan pasar modal. Artinya kita sudah kehilangan 1000 investor. Padahal perlu digarisbawahi, misi dari OJK maupun Bursa Efek Indonesia itu meningkatkan literasi keuangan yang diyakini akan meningkatkan kapitalisasi pasar, dan sebagainya. Jika kemudian ada ketidakpercayaan pada pasar modal tentu jadi merepotkan, apalagi sekarang adalah eranya media sosial yang bisa menjadi booster ketidakpercayaan, tentu bukan itu yang kita harapkan," imbuhnya.

 

Terkait kasus Asabri-Jiwasraya, Reza pun menambahkan masyarakat bisa meminta ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya bisa memberikan masukan bagaimana menangani kasus hukum dengan proses hukum yang baik. "Saya mengutip kutipan pernyataan Jeremy Bentham, hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan. Demikian juga seorang filsuf bernama John Locke mengatakan, kebijaksanaan seseorang akan membuat hukum tidak hanya terdiri dari landasan keadilan tapi juga penerapannya yang senantiasa mempertimbangkan dengan cara apa hukum mendapat kepastian.

 

Nah, hal itulah yang kita harapkan saat ini, yaitu kepastian hukum dari penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri, dan mungkin juga lembaga keuangan lainnya. Kita harapkan penanganan kasus hukum yang terjadi di pasar modal akan semakin baik ke depannya, mengingat pasar modal memiliki UU Pasar Modal, jadi sebaiknya tidak sembarangan dialihkan ke UU Tipikor bila masih bisa diselesaikan dengan UU Pasar Modal. Dengan demikian nasib dari para pemegang polis ini bisa jelas. Syukur-syukur uangnya bisa kembali, karena kan ini menyangkut investasi dari para nasabah pemegang polis," tandasnya.

 

Senada Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar menyebut jika penegakan hukum yang salah bisa mempengaruhi ekosistem pasar modal ataupun dunia investasi sebuah negara. Ia lantas mencontohkan ketika penegak hukum melakukan penyidikan ke lembaga-lembaga tertentu, otomatis saham perusahaannya pun terdampak ikut jatuh.

 

"Untuk itulah bagaimana pasar modal dan penegakan hukum itu harus berintegrasi. Seharusnya kalau ada penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana di sebuah perusahaan atau yang menyangkut pasar modal, seharusnya prinsip good corporate governancenya tetap harus dijaga," kata Akbar.

 

Kasus penyitaan aset dalam kasus Asabri-Jiwasraya ini pun mirip dengan kasus First Travel. Di mana sebanyak 1000 calon jamaah umrah dirugikan dalam kasus tersebut. "Sekarang uang para jamaah itu di mana? Uangnya dirampas untuk negara, sesuatu hal yang luar biasa melanggar hak asasi manusia. Apa logikanya hingga uang dalam kasus first travel itu harus dirampas untuk negara?," paparnya.

 

Kondisi itu, kata Akbar membuktikan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP itu masih sangat lemah, karena tidak memiliki prosedur penyitaan pada aset yang tersebar secara kompleks. Ia menegaskan, dalam pasal 39 sampai 49 KUHAP menyebut bahwa penyitaan hanya bisa dilakukan jika keputusan sudah berkekuatan hukum tetap. 

 

"Ini dipertegas dalam pasal 18-19,  yang mengatakan penyitaan terhadap aset dalam pembayaran uang pengganti dilakukan 1 bulan, ketika tidak dibayar 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap," ujarnya.

 

Akbar pun kembali memberikan contoh upaya hukum yang dilakukan KPK dalam kasus M Nazaruddin. "Dalam penanganan kasus tersebut, KPK tidak melakukan pembekuan investasi Nazaruddin di saham Garuda Indonesia, kenapa? Saat itu pertimbangannya adalah, jika dibekukan kemungkinan akan merugikan Garuda dan pasar modal sekaligus makin merugikan negara juga. Ini adalah metode improvisasi dari KPK yang saya rasa  harus ditiru oleh Kejaksaan sebenarnya," tambahnya.

 

Sementara kuasa hukum nasabah WanaArtha, Palmer Situmorang pun setuju jika penanganan kasus Asabri-Jiwasraya telah mengganggu iklim investasi Indonesia. "Yang pertama dilanggar oleh penyidik adalah tindakan penyitaan itu tidak pernah dilakukan dengan melibatkan atau setidaknya dengan sepengetahuan dari pemilik rekening. Bahkan sampai sekarang, hingga ada putusan pengadilan terhadap kasus tersebut, tetap tidak ada informasi apapun dari Kejaksaan. Cara seperti ini jelas melanggar KUHP," kata dia.

 

Menurut dia, cara-cara penanganan perkara Jiwasraya telah membuat para jaksa mengalami degradasi pemikiran objektif. "Pelanggaran ini luar biasa. Luar biasa keterlaluan. Zaman Pak Harto sekalipun tidak sekeras ini caranya. Sebab menurut pasal 19 UU Tipikor Nomor 31 tahun 1999, barang bukti yang bukan milik tersangka tidak dikenakan perampasan. Namun  jaksa memaksa untuk dirampas, itu sudah jelas pelanggaran," ujarnya.

 

"Jadi apa yang telah dilakukan sita terhadap kekayaan atau aset WanaArtha lewat pasar modal yang termasuk hasil penjualan dan pembelian sahamnya adalah uang nasabah, itu jelas.  Saya menduga, para jaksa ini hanya ingin terlihat wah terlihat hebat. Padahal mereka lupa, yang mereka sita itu adalah hak orang-orang yang hingga kini masih menangis, lalu nasib mereka siapa yang menanggung?" ungkapnya lagi.

 

385