Home Olahraga Begini Cara Tim Panjat Tebing Indonesia Menempa Prestasi

Begini Cara Tim Panjat Tebing Indonesia Menempa Prestasi

Mereka Harus Meningkatkan Jam Terbang di Kejuaraan Internasional (Foto: Dok.FPTI)">

Jakarta, Gatra.com – Cabang olahraga (cabor) panjat tebing Indonesia menorehkan prestasi memuaskan dalam gelaran Asian Games 2018. Ada enam medali yang dipersembahkan, yakni 3 emas, 2 perak, dan 1 perunggu.

Setahun berselang, atlet Aries Susanti Rahayu menjuarai nomor speed putri pada Piala Dunia Panjat Tebing 2019 seri Xiamen, China. Dia mengukir waktu 6,995 detik, yang sekaligus jadi rekor baru dunia. Videonya kala itu viral, dan membuat Aries dijuluki spiderwoman.

Sayangnya, Indonesia tidak berhasil lolos ke Olimpiade Tokyo 2020. Sebab, kategori speed yang jadi andalan Indonesia tidak dipertandingkan sebagai nomor terpisah, melainkan dikombinasikan dengan nomor lead dan boulder atau kerap disebut combined.

Sebagai cabor baru, International Olympic Committee (IOC) hanya memberikan slot 2 medali emas. Mau tak mau International Federation of Sport Climbing (IFSC) menerima keputusan itu, lantaran perjuangan memasukkan cabor ini ke olimpiade sebelumnya terus gagal. Mulai dari Olimpiade Beijing 2008, Olimpiade London 2012, hingga Olimpiade Rio 2016.

Guna mengakomodasi pemanjat nomor speed, lead, dan boulder, IFSC memutuskan untuk mengajukan nomor combined. Dalam kategori ini, tiap atlet mesti melakoni tiga nomor sekaligus, sementara atlet Indonesia hanya unggul dalam nomor speed.

Pada ajang kualifikasi IFSC Combined Qualifier 2019 di Toulouse, Prancis, dua atlet andalan Indonesia yakni Aries Susanti dan Alfian M. Fajri tak bisa tembus enam besar yang merupakan tahapan meraih tiket Olimpiade 2020. Saat itu, Aries hanya mampu finis di urutan ke-16, sedangkan Alfian berada di peringkat ke-13.

Meski demikian, Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) optimistis mampu meraih medali emas pada Olimpiade Paris 2024. Pasalnya, nomor speed akan dipertandingkan secara terpisah sehingga Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk lolos dan meraih medali.

Ketua Umum Pengurus Pusat FPTI, Zannuba Ariffah Chafsoh mengatakan pihaknya tengah menyusun langkah strategis untuk menggapai emas di Olimpiade Paris 2024. Hal itu berupa pembinaan secara intensif sejak sekarang dan menjaring atlet yang berusia lebih muda.

“Kami mulai memantau para atlet sejak di taraf kejuaraan junior misalnya di usia 13 hingga 15 tahun. Dengan begitu, pembinaan dapat lebih berkesinambungan baik kemampuan fisik atau keterampilan berpikir,” kata perempuan yang dikenal sebagai Yenny Wahid itu, kepada Gatra.com beberapa waktu lalu.

Yenny menambahkan, saat ini FPTI juga ingin fokus mengikuti kejuaraan-kejuaraan dunia yang diselenggarakan berbagai negara. Bahkan, FPTI mengajukan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia Panjat Tebing yang akan berlangsung di Jakarta, Oktober 2021 nanti.

“Ini upaya kita agar para atlet bisa terfasilitasi untuk bisa optimal mendapatkan prestasi. Tentu kita harus bekerja keras, baik dari sisi penyelenggaraan maupun pembinaan. Itu salah satu fokus kerja kami sekarang,” ujarnya.

Putri kedua Gus Dur itu mengakui bahwa Indonesia memang masih memiliki kelemahan pada nomor lead dan boulder. Menurutnya, perlu banyak faktor pendukung untuk menciptakan atlet mumpuni di lead dan boulder serta dari sisi combined. Faktor tersebut mesti dilihat secara sistematik, alias tidak hanya melihat segi atlet saja.

“Kita harus bisa membuat sistem yang lebih baik untuk mendukung prestasi mereka. Jadi, bukan cuma atlet yang dilatih tetapi termasuk pembuat jalur. Di situlah atlet bisa berlatih dengan berbagai macam kreasi atau sejumlah jalur yang berbeda sehingga mereka bisa lebih terbiasa untuk bertanding dalam model apapun,” jelasnya.

Yenny menuturkan, nomor lead dan boulder membutuhkan atlet yang memiliki kemampuan fisik memadai sekaligus IQ yang cukup tinggi. Sebab, pemanjat harus menganalisis secara cepat jalur yang akan ditempuh untuk menghemat dan memaksimalkan waktu.

“Dia harus cepat ambil keputusan strategis, buat mapping, jalur akan seperti apa, rute mana yang akan diambil. Itu kan split second. Terjadi dalam hitungan seperberapa detik. Itu memerlukan intelektualitas, intelegensia yang cukup tinggi,” imbuhnya.

Proses Pembentukan Atlet Panjat Tebing

Di sisi lain, FPTI juga telah menggunakan ilmu keolahragaan (sport science) dalam proses pembinaan atlet. Contohnya, jika ingin mempersiapkan atlet untuk kategori speed, maka massa otot seperti apa yang harus dibentuk, fisik yang bagaimana, dan semacamnya. Pelatihan pun bisa lebih sistematis dan spesifik.

Ketua Bidang Kepelatihan FPTI, Caly Setiawan mengatakan awalnya penerapan tersebut tidak mudah lantaran negara ini berada di antara jalan science dan tradisional. Sebagian orang masih berpikir latihan terbaik cabor ini yaitu dengan rutin memanjat.

“Dengan science, program pelatihan bisa punya dampak yang lebih bermakna. Kalau mau bicara yang kecil-kecil ya seperti mengatur gizi makanan, istirahat, termasuk kemudian dimensi kognitif pada atlet lead dan boulder. Itu yang kami garap,” ungkapnya.

Caly mengatakan, pihaknya terus berupaya dan mencoba berbagai teori atau riset mengenai pengembangan kognitif, pembelajaran kognitif, serta kecerdasan kinestetik. Atlet yang mempunyai kemampuan kognitif yang bagus akan terampil memecahkan masalah, termasuk jalur yang sulit dan rumit.

“Sejak persiapan Asian Games 2018, kita sudah rutin memakai sport science secara sistematis. Kita juga ini menurunkan itu ke daerah-daerah supaya kualitas pelatihan mereka meningkat. Karena pelatnas kan hanya menunggu supply dari bawah. Kalau supply bagus, kita bekerja pun tidak berat,” katanya.

Pria yang mengetuai tim pelatih Timnas Panjat Tebing Indonesia di Asian Games 2018 ini menambahkan, sport science juga mencakup penyusunan jadwal latihan, periodisasi latihan, hingga pemrograman pelatihan berjenjang. Selain itu, mengelola pemulihan (recovery) setelah menjalani latihan yang keras.

“Kalau tidak diimbangi recovery management yang bagus, itu pasti pada cedera. Baru setengah pelatihan udah hancur badannya,” ujar Caly. Manajemen pemulihan dapat berupa massage, shiatsu, relaksasi otot, termasuk pula suplemen protein tinggi. Penerapan ilmu secara sistematis dan konsisten diharapakan dapat mencetak atlet berkualitas.

Caly berharap program fasilitasi long term athlete development (LTAD) dari Kemenpora dapat segera terealisasi. Hal tersebut bisa menunjang penyusunan buku panduan yang mudah dimengerti semua orang yang terlibat dalam panjat tebing.

“Kalau LTAD itu ibarat orang, ada sport science yang jadi make up. Jadi, LTAD adalah orang yang bersolek paling lengkap. Mulai dari sisi manajemen, sosiologi, kultur, fisiologi, kedokteran, gizi, semua dirangkum dalam LTAD. Kalau tidak ada halangan, katanya akan diupayakan bisa terbit tahun itu,” katanya.

Caly menyatakan, pembentukan atlet panjat tebing tiap kategori sifatnya sangat berbeda. Ibarat antara lari maraton dengan sprint. Atletnya tidak mungkin jadi satu orang yang sama. Dia menjabarkan, perbedaan itu seperti pendekatan melatih, kebutuhan gizi, proses pengembangan, program latihan, dan sejenisnya.

“Pendekatannya dalam melatih itu beda. Kita tidak mungkin melatih orang jadi cerdas untuk nomor lead dan boulder dengan cara militeristik. Tetapi, kalau yang spedd tidak pakai pendekatan keras dan militeristik ya tidak jadi. Itu saja sudah beda,” ungkap Caly.

Menurutnya, untuk kategori lead dan boulder, atlet harus diperlakukan sebagai kombinasi seniman, ilmuwan, sekaligus kuli berotot. Hal ini turut mempengaruhi Indonesia masih susah mengembangkan dua kategori itu dalam waktu dekat, terlebih ada pengaruh kultur yang cenderung patuh dengan otoritas.

“Kalau mau unggul nomor lead dan boulder, itu harus jangkanya panjang. Saat ini, kami ingin meletakkan pondasi-pondasi penting tersebut agar dilanjutkan pengurus berikutnya. Karena memang tidak bisa secara instan,” katanya.

Lebih lanjut, Caly mengatakan bahwa tim pelatih tidak menempatkan sport science sebagai satu-satunya aspek dalam pembinaan prestasi panjat tebing. Namun, tim bekerja dengan cara-cara saintifik, intuitif (seni), dan kultural dalam kombinasi yang unik.

“Kami memang mendokumentasikan setiap detail perkembangan atlet untuk jadi bahan analisis. Keputusan-keputusan dalam pelatihan berbasis data. Tetapi, kami tidak treat atlet semata-mata angka. Mereka adalah manusia seutuhnya. Ada feeling yang andil dalam pengambilan keputusan kami. Ada intuisi. Ada relasi interpersonal dan intrapersonal yang dibangun,” katanya.

Hasilnya pun memuaskan. Pada kompetisi IFSC Climbing World Cup 2021 di Salt Lake City, Amerika Serikat (AS), atlet panjat tebing putra Indonesia Veddriq Leonardo memecahkan rekor dunia untuk nomor speed putra. Dia mencatatkan waktu 5,208 detik, mengungguli rekor sebelumnya yang dipecahkan Kiromal Katibin 5,258 detik saat babak kualifikasi.

905