Home Kesehatan Tekan Angka Kematian Kanker Payudara, Ini Rekomendasi Southeast Asia Breast Cancer Symposium

Tekan Angka Kematian Kanker Payudara, Ini Rekomendasi Southeast Asia Breast Cancer Symposium

Jakarta, Gatra.com- World Health Organization (WHO) melalui Global Breast Cancer Initiative (GBCI) pada Maret 2021 lalu menargetkan angka kematian akibat kanker payudara menjadi sebesar 2,5% per tahun sampai tahun 2040. Hal ini kemudian yang menginisiasi The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) ke-5 memberikan rekomendasi pentingnya kerja sama berbagai pihak untuk memenuhi target tersebut.

"Butuh upaya ekstra keras dan kerjasama dari berbagai pihak yang melibatkan ahli di bidang kesehatan, dokter ahli onkologi, organisasi yang bergerak di bidang kanker payudara, pemerhati, serta pemangku kebijakan dari berbagai negara," ungkap Ning Anhar, dari Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) dan juga Wakil Ketua Penyelenggara SEABCS ke-5 dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/8).

Terutama karena angka kasus ini masih tinggi. Seperti halnya di Indonesia, menurut Data Globocan 2020, kanker payudara merupakan kanker paling banyak pada perempuan dengan proporsi 16,6% dari total kasus kanker. Dimana terdapat 65.858 kasus baru dan 22.430 kematian pada tahun 2020.

Diperkirakan jumlah kematian maupun kasus baru akan terus naik hingga tahun 2040. Terutama, lanjut Ning Anhar, bila tidak dilakukan upaya sejak hulu hingga hilir dan tanpa didukung regulasi yang jelas.

Ning Anhar menambahkan, salah satu advokasi mendesak untuk pemerintah adalah segera mengeluarkan peraturan atau panduan vaksin untuk pasien kanker payudara dengan persayaratan tertentu. “Yayasan Kanker Payudara Indonesia menghimbau agar pemerintah bisa mengeluarkan rekomendasi yang pasti terkait vaksinasi pada pasien kanker. Ini juga upaya untuk menurunkan angka kematian pasien kanker payudara,” ungkapnya.

Perwakilan GBCI, Dr. Benjamin Anderson merekomendasikan tiga pilar dalam tatalaksana kanker payudara. “Ketiga pilar yang dimaksud yaitu promosi kesehatan untuk deteksi dini, diagnosis kanker payudara, dan tatalakasana kanker payudara yang  komprehensif,” jelas Ning Anhar. 

Baca juga: Teknologi Baru Temukan Lokasi Kanker Payudara

Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI), dr. Walta Gautama ST, Sp.B (K) Onk menyebutkan target ini makin sulit dicapai karena sebagian besar pasien datang dalam stadium 3-4. Terlebih di masa pandemi ketika terjadi penurunan kedatangan pasien ke pelayanan kesehatan secara signifikan.

Selain itu, akibat merebaknya varian delta yang sangat menular, banyak tenaga medis yang terinfeksi sehingga pelayanan pada pasien kanker payudara terganggu. Komunikasi antara dokter dan pasien juga mengalami kendala karena dilakukan secara daring melalui telemedicine.

“Ini tidak pernah bisa maksimal, karena tidak semua praktik atau profesi bisa dilakukan dengan telemedicine. Saat pemeriksaan perlu melihat langsung klinis pasien, meraba, memegang. Foto pun tidak bisa mewakili sepenuhnya, sehingga kesulitan. Kalau saya pribadi daripada salah diagnostik, lebih baik tunda dulu hingga kondisinya memungkinkan. Bila dipaksakan bisa membahayakan pasien,” papar dr. Walta.

Selain itu Covid-19 juga memperburuk kondisi pasien kanker. Angka kematian orang normal akibat Covid-19 di dunia sekitar 3-5%. Jika pasien kanker terkena Covid-19, angka kematiannya menjadi 26-28%. Ini juga terjadi di RSK Dharmais dari Maret 2020-Februari 2021, di mana angka kematian pasien kanker yang terinfeksi Covid-19 mencapai 22%.

“Jalan keluarnya adalah vaksin. Berdasarkan temuan PERABOI, dari 200 pasien kanker yang divaksin, KIPI hanya ditemukan pada 2-3 orang, itu pun tidak berat,” ungkap dr. Walta.

Baca juga: Inilah Faktor Penyebab Kanker Payudara Milenial Meningkat

Dr. Kardinah SpRad(K) dari  Indonesian Women Imaging Society (IWIS) juga mencatat sejumlah hasil dari SEABCS ke-5. Salah satu yang paling penting adalah kolaborasi dengan American Society Clinical Oncology (ASCO) untuk membuat standar tatalaksana pasien kanker payudara yang lebih multidisiplin di Indonesia.

Menurut dr. Kardinah, bentuk konkret kolaborasi ini berupa pertukaran narasumber atau training yang sesuai dengan program ASCO. Selain itu pengembangan artificial intelegent (AI) dalam breast imaging,  diagnotsik, maupun skrining.

“Dengan mengikutsertakan profesi, bisa menjadi perluasan wawasan sehingga dokter spesialis tidak terfokus pada satu bidangnya saja. Penanganan pasien kanker payudara stadium lanjut harus multidisiplin dengan mengedepankan komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter. Saat ini paradigma pengobatan berubah, di mana pasien berhak mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya,” jelasnya.

Ketua YKPI Linda Agum Gumelar menekankan perlunya rangkaian program yang berkesinambungan, dimulai dari kebijakan, pelaksanaan di tingkat Fasilitas Kesehatan Primer hingga Tersier dan tenaga profesi kedokteran agar upaya penurunan kanker payudara stadium lanjut dapat terlaksana dan memberikan hasil yang nyata.

"Kerjasama internasional, regional, dan tingkat nasional merupakan penguatan bersama untuk memerangi kanker payudara," tutur Linda.

Sebagai informasi, The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) ke-5 digelar secara virtual di Indonesia pada 31 Juli 2021- 1 Agustus 2021 lalu. Acara yang mengusung tema “Putting Patients at the Heart of Breast Cancer Control,” atau “mengutamakan  kepentingan pasien  dalam penanganan pengendalian kanker payudara”.

SEABCS 2021 diikuti oleh 1.248 peserta yang didominasi oleh penyintas kanker payudara dan pendamping, komunitas kanker payudara, dokter, serta tenaga medis dari berbagai negara. SEABCS ke-6 akan diselenggarakan pada tahun 2022 di Pilipina.

409