Home Hukum Pertemuan dengan Korban Ditunda, Komnas HAM Bakal Bersurat ke Polri & KPI

Pertemuan dengan Korban Ditunda, Komnas HAM Bakal Bersurat ke Polri & KPI

Jakarta, Gatra.com- Pertemuan korban pelecehan seksual dan perundungan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terpaksa harus diundur. Awalnya, Komnas HAM dan MS, korban perundungan itu, beserta pendamping hukumnya dijadwalkan bertemu hari ini.

Rencananya, Komnas HAM bakal mendengarkan keterangan korban dan pendamping hukum terkait kronologis peristiwa dan bentuk kekerasan seksual yang dialami, waktu, hingga pelaku-pelakunya.

"Pendamping korban meminta agar pertemuan dijadwalkan ulang. Hal ini guna menjaga kondisi kesehatan korban yang membutuhkan waktu untuk beristirahat," kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/9).

Beka mengatakan, Komnas HAM menghormati hal tersebut dan akan menjadwalkan ulang sesuai dengan waktu dan kesediaan sepanjang korban merasa nyaman dan aman. Ia juga menilai kasus ini termasuk dalam tipologi yang memerlukan penanganan khusus. "Tentunya Komnas HAM berkomitmen menjunjung tinggi dan berupaya melindungi hak korban," ungkap dia.

Selanjutnya, Komnas HAM akan segera mengirimkan surat permintaan keterangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Surat panggilan itu bakal dilayangkan pada sekira Senin atau Selasa mendatang.

Beka mengatakan bahwa KPI akan dimintai keterangan untuk mengetahui upaya penanganan atau respons lembaga itu dalam menangani kasus pelecehan seksual dan perundungan yang sudah berlangsung sejak lama tersebut. KPI juga akan diminta kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab.

Sementara dari kepolisian, Beka mengatakan akan meminta perkembangan kasus setelah korban melapor ulang ke Polres Jakarta Pusat pada Rabu malam (1/9) lalu. Beka menuturkan bahwa pihaknya menghargai korban. Jika dirasa korban belum nyaman memutuskan untuk memberikan keterangan kepada Komnas HAM dalam waktu dekat, Beka menyebut hal itu tak menjadi masalah. Bahkan, jika ada opsi lain yang diminta korban, Komnas HAM bisa memenuhinya. "Kalau butuh tempat bukan di Komnas HAM, kita bisa datang. Kalau mau ada penjemputan, kita bisa sediakan," dia menerangkan.

MS disebut mendapat perundungan dan perlakuan tak senonoh dari rekan kerjanya di kantor tersebut selama rentang waktu 2012-2019. Perundungan dan perlakuan tak senonoh tersebut meliputi makian bernuansa SARA, pemukulan, hingga pelecehan seksual seperti menelanjangi korban, mencoret buah zakar korban dengan spidol, lalu memfotonya.

“Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan,” ujar korban dalam keterangan tertulisnya yang tersebar di WhatsApp, Rabu, (1/9/2021).

Korban menuding terdapat tujuh terduga pelaku yang merundung dan melecehkannya. Ketujuh pelaku tersebut diduga berasal dari divisi humas dan visual data KPI Pusat.

“Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan MENCORAT CORET BUAH ZAKAR SAYA MEMAKAI SPIDOL. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online,” tutur korban.

Korban mengaku mendapatkan efek buruk dari segi fisik dan segi mental atas perundungan dan pelecehan tersebut. Dalam keterangannya, ia mengaku menderita Hipersekresi Cairan Lambung yang diakibatkan oleh trauma dan stres. Selain itu, ia juga didiagnosa menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Pada Agustus 2017, korban sempat mengadukan persoalan ini kepada Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan apa yang dialami oleh korban sebagai kejahatan atau tindak pidana. Komnas HAM kemudian menyarankan korban untuk membuat laporan kepolisian.

Dua tahun kemudian, pada 2019, korban memberanikan diri untuk melapor ke kepolisian. Ia melapor ke Polsek Gambir. Hanya saja korban tak puas dengan respons pihak kepolisian yang waktu itu hanya menyarankan untuk mengadukan masalah ini ke atasan kantor.

Korban pun kemudian melaporkan permasalahan ini ke atasannya di tahun yang sama. Saat dihubungi oleh Gatra.com sore tadi, (1/9/2021), korban menolak menerangkan atasan siapa yang dimaksud, termasuk posisi jabatannya di kantor.“Akhirnya saya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis, saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap ‘ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar,’” ujar korban.

“Sejak pengaduan itu, para pelaku mencibir saya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Tapi mereka sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas saya dengan kalimat lebih kotor. Bahkan pernah tas saya di lempar keluar ruangan, kursi saya dikeluarkan dan ditulisi ‘Bangku ini tidak ada orangnya’. Perundungan itu terjadi selama bertahun tahun dan lingkungan kerja seolah tidak kaget. Para pelaku sama sekali tak tersentuh,” imbuh korban.

Pada 2020, korban kembali melaporkan kasus ini ke Polsek Gambir. Namun, lagi-lagi, korban kecewa dengan respons polisi saat itu. "Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya,” ujar korban menirukan seorang petugas polisi tersebut.

89