Home Hukum LBH Jakarta Soroti Raibnya Pasal RUU PKS

LBH Jakarta Soroti Raibnya Pasal RUU PKS

Jakarta, Gatra.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan sejumlah catatan kepada Baleg DPR terkait draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUU PKS). Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, mengatakan, ada ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum.

Diketahui, pada Senin (30/8), Baleg DPR menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU tersebut. Ada beberapa hal yang diubah, dari judul yang semula diajukan 'Penghapusan Kekerasan Seksual' menjadi 'Tindak Pidana Kekerasan Seksual'. Selain itu, ada 15 jenis kekerasan seksual yang dipangkas menjadi 9, kemudian diperkecil lagi menjadi 4 jenis.

"Hal tersebut sekaligus mempertanyakan kepada pembentuk undang-undang, mau dibawa ke arah mana perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual," kata Citra dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/9).

Sorotan LBH Jakarta meliputi hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang yang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas. Selain itu, Baleg juga dinilai telah menghilangkan tindak pidana perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, ketentuan aborsi.

Baleg, kata Citra, bahkan tak memberikan perlindungan khusus kepada korban kekerasan seksual, tak mengatur hak-hak korban, keluarga korban, hingga saksi dan ahli.

"Ini membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum," ungkap dia.

Berikut 16 catatan penting terhadap draf RUU PKS versi BALEG DPR yang diberikan oleh LBH Jakarta:

Pertama, hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas. Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual. Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Keempat, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan. Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran.

Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri.

Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online. Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak. Kesembilan, tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku.

Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas. Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.

Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.

Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.

Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.

Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban.

Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

LBH Jakarta pun menuntut agar:
1. Badan Legislatif DPR-RI memasukkan seluruh catatan LBH Jakarta agar dirumuskan untuk diatur menjadi pasal demi pasal ke dalam draf RUU PKS;

2. Badan Legislatif DPR-RI segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dengan melibatkan secara aktif korban, pendamping, kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual untuk merumuskan kebijakan pasal demi pasal terhadap RUU PKS;

3. Badan Legislatif DPR-RI mendengarkan, mempertimbangkan, dan mengimplementasikan masukan yang komprehensif dari berbagai kalangan yang mempunyai visi besar untuk mencegah serta menghapuskan kekerasan seksual melalui RUU PKS.

130