Home Internasional MAKI akan Layangkan Gugatan Praperadilan Kasus JICT

MAKI akan Layangkan Gugatan Praperadilan Kasus JICT

Jakarta, Gatra.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berencana melayangkan gugatan Praperadilan atas mangkraknya perkara kasus kantor PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) - anak usaha Pelindo II, pada 4 hingga 5 September 2020 yang ditangani Kejaksaan Agung. 

Ketika itu, tim penyidik tengah mengusut dugaan korupsi perpanjangan kontrak kerjasama PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Kerja sama ini dilakukan saat era Dirut RJ Lino antara Pelindo II (Persero) dengan Hutchison Ports milik konglomerat Hong Kong Li Ka Shing .

Bonyamin menjelaskan, alasan melayangkan gugatan karena pertimbangan satu dari dua alat bukti sudah terpenuhi yakni audit investigatif BPK tanggal 6 Juni 2017, terkait kasus JICT. 

“Dalam konteks ini, Audit Investigatif BPK adalah alat legitimasi untuk menilai perbuatan melawan hukum dan menentukan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi JICT. Sehingga wajib ditindaklanjuti pihak Kejagung,” kata dalam keterangannya, pada Sabtu (4/9).

Dalam laporan investigasinya, lanjut Bonyamin BPK menemukan beberapa dugaan perbuatan melawan hukum yakni perpanjangan kontrak JICT tanpa RUPS, RJPP dan RKAP. Sehingga melanggar PerMen BUMN No PER-01/MBU/2011 dan Pasal 3 serta Pasal 8 KepMen BUMN No KEP-101/MBU/2002. 

Selain itu kontrak JICT tanpa ada izin konsesi pemerintah sehingga melanggar UU 17/2008 Pasal 82 ayat 4, pasal 344 ayat 2 dan pasal 345 ayat 2. Pelanggaran aturan lain yang paling terlihat yakni Pasal 8 ayat 1 dan pasal 10 ayat 1 Permen BUMN No PER-06/MBU/2011 dimana Hutchison ditunjuk langsung tanpa tender.

“BPK juga telah mengungkapkan kasus JICT terindikasi merugikan negara Rp 4,08 triliun. BPK menemukan bahwa Pelindo II tidak memiliki owner estimate (HPS) sebagai acuan menilai penawaran dari Hutchison. Dasar perhitungan yang tak valid ini berdampak pada penerimaan Pelindo II yang lebih rendah dari nilai seharusnya,” katanya.

Terkait dugaan pemufakatan rekayasa keuangan, kata Bonyamin, melalui surat No. HK 566/30/3/1/PI.II-15 Komisaris Pelindo II menugaskan perusahaan BS untuk mengevaluasi perhitungan bisnis perusahaan asing DB sebagai konsultan keuangan Pelindo II. 
Hasilnya ada beberapa dugaan kejanggalan berdasar analisis yakni; 

Pertama, perpanjangan kontrak JICT bukanlah penjualan saham, melainkan murni Kerja Sama Operasi (KSO). Hal ini terlihat jelas dari periode kerja sama yang akan berakhir tahun 2039. Seharusnya jika penjualan saham, maka tidak ada batas waktu karena kepemilikan saham bersifat perpetuity (tidak mengenal mekanisme batas akhir). 

Kedua, metode perbandingan total uang yang diterima Pelindo II berdasarkan perjanjian awal (1999-2019) dibandingkan perpanjangan kontrak yang dipercepat (2015-2039) bukanlah mekanisme perhitungan lazim untuk mengukur mana skema yang lebih baik. 

Ketiga, perusahaan BS melakukan analisa keuangan dengan proyeksi arus kas yang telah dipersiapkan DB. Konsekuensinya beberapa potensi keuntungan tidak dapat dihitung karena keterbatasan data tersebut. 

“Akibat yang lebih fatal, diduga terjadi kontradiksi skenario perhitungan DB sehingga menyebabkan proyeksi arus kas JICT lebih rendah (under value) dari yang seharusnya,” ujarnya.

Sebagai tambahan fakta hukum, lanjut Bonyamin Biro Pengadaan Pelindo II diduga meloloskan DB meski tidak lulus tahap administrasi dan memiliki conflict of interest. DB diduga merangkap pekerjaan sebagai negosiator (kontrak JICT), lender (peminjam dana kepada Pelindo II) dan arranger (mencarikan dana bagi Pelindo II).

Bonyamin menyebut bukti lain bisa terlihat dari proses penyidikan kasus JICT di Kejagung. Dari sini akan terlihat jelas oknum para pelaku yang diduga  memaksakan perpanjangan kontrak JICT. Para pihak ini menyadari betul adanya implikasi hukum namun mencoba bermain di area abu-abu. Akibat ulah beberapa oknum tersebut, malah hanya menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap iklim investasi di Indonesia. 

Bonyamin menambahkan bahwa ada wacana beberapa pihak untuk negosiasi ulang Pelindo II dengan Hutchison mengenai kekurangan uang muka pembayaran. Hal ini dapat dikategorikan tindakan pelecehan terhadap hukum. 

“Kejagung tentu dapat membedakan antara kurang bayar dengan kerugian negara. Kerugian negara tidak bisa direvisi ataupun diselesaikan secara administrasi melainkan harus diproses secara hukum,” katanya. 

Diketahui sebelumnya bahwa kasus ini mencuat diawal kala harga privatisasi JICT kepada Hutchison tahun 1999 mencapai US$ 243 juta namun saat perpanjangan jilid II tahun 2015 turun sebesar US$ 215 juta. Hal ini dinilai tidak wajar mengingat produktivitas dan pendapatan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia ini meningkat pesat.

Penyidikan kasus dugaan korupsi JICT sudah berjalan hampir setahun sejak terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-54/F.2/Fd.1/09/2020. Penyidik melakukan investigasi di JICT karena diduga ada perbuatan melawan hukum dan dugaan merugikan keuangan negara. Menurut layar pemanggilan Kejagung, sebanyak 25 saksi telah diperiksa dalam proses penyidikan.

Diantaranya mantan Dirut Pelindo II RJ Lino beserta istri dan anak-anaknya. Kejagung mengaku telah menemukan dugaan unsur gratifikasi terkait perkara dugaan korupsi JICT. 

Pihak lain yang turut diperiksa yaitu Dirut Pelindo II Arif Suhartono, Komisaris Utama JICT WS (Maman) Wiryawan dan Direksi Antam Dana Amin (mantan Direktur Operasi Pelindo II). 

“Sebetulnya dari beberapa dokumen, kasus dugaan korupsi JICT juga melibatkan konsultan asing dan pengusaha nasional. Misalnya DB, R dan NR. Selain itu ada GT  dan PW yang berperan sebagai penasihat sekaligus negosiator,” katanya.
   
Melihat konstruksi kasus dugaan korupsi yang terang benderang dan para pihak terlibat, MAKI mendesak agar Kejaksaan Agung segera mengumumkan tersangka kasus JICT. Desakan ini tentu disertai dengan argumentasi hukum yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP. 

471