Home Politik Bamsoet Jamin Tak Ada Presiden Tiga Periode, Publik Ragu, Banyak Tikungan Politik

Bamsoet Jamin Tak Ada Presiden Tiga Periode, Publik Ragu, Banyak Tikungan Politik

Jakarta, Gatra.com– Riuhnya wacana presiden tiga periode dalam agenda amandemen UUD ’45 masih mewarnai perbincangan publik walau masyarakat masih harus berjibaku menghalau pandemi Covid-19 yang tak kunjung lenyap. Selain hantu virus, publik makin dikhawatirkan oleh runtuhnya demokrasi dengan munculnya wacana tersebut.

Wacana presiden tiga periode ini muncul pertama kali dari kelompok yang menamai diri mereka Jokpro—singkatan dari Jokowi-Prabowo. Salah satu impian yang hendak dicapai oleh kelompok tersebut adalah untuk menumpas polarisasi politik di tubuh masyarakat yang tercipta akibat kontestasi kedua tokoh tersebut di pemilu-pemilu sebelumnya.

Walau begitu, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya tak pernah membahas hal tersebut dalam berbagai pertemuannya. Ia mengklaim bahwa sebetulnya yang ingin dibahas dari pencanangan amandemen UUD 1945 itu bukanlah penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, melainkan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

“Dengan ini saya tegaskan bahwa sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan konstitusi, MPR tidak pernah melakukan pembahasan apa pun untuk mengubah Pasal 7 UUD RI Tahun 1945 yang mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden,” tegas Bamsoet dalam webinar yang digelar oleh Muhammadiyah pada Senin, (13/9).

Hanya saja, penegasan Bamsoet tersebut dihujani keraguan dan kekhawatiran dari kalangan publik. Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Iwan Satriawan, adalah salah satu yang menyangsikannya.

“Kita bersyukur, alhamdulillah, Mas Bambang Soesatyo itu menggaransi tidak ada wacana [presiden tiga periode], tapi dalam politik, langkah-langkah atau gaya-gaya untuk memperpanjang kekuasaan itu memang indikasinya ada,” ujar Iwan.

Iwan merinci indikasi-indikasi tersebut, yaitu pembatasan jumlah capres dan cawapres yang gugatannya tak diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK), penolakan MK terhadap penghilangan ambang batas presiden (presidential threshold), wacana penundaan pemilu ke tahun 2027 karena adanya pandemi Covid-19, dan wacana presiden tiga periode itu sendiri.

Senada dengan Iwan, peneliti senior LIPI, Prof, Dr, Siti Zuhro, juga ikut meragukan apa yang ditegaskan oleh Bamsoet. Menurutnya, politik adalah benda yang dinamis dan tak absolut.

“Dalam politik itu tidak ada yang absolut. Dalam politik, apa pun bisa terjadi. Apalagi kalau di Senayan itu, kan, kekuatan politik. Jadi, kekuatan politik itu yang bicara. Ini yang membuat kita sebagai publik itu waswas,” ujar Siti.

“Lah, ini masalahnya siapa yang bisa menjamin bahwa tidak akan muncul tiga periode? Sementara amandemen PPHN itu urgensi, relevansi, signifikansinya masih menjadi pertanyaan besar di publik,” imbuh Siti.

Hadir di kesempatan yang sama sebagai penanggap, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dafri Agus Salim, mengungkapkan bahwa akar masalah dari banyaknya penolakan wacana presiden tiga periode ini adalah rendahnya kepercayaan (trust) publik kepada pemerintah.

“Jadi, apapun juga yang dikatakan oleh para politisi, ya publik tidak percaya dan mereka mempersoalkannya. Mengapa publik tidak percaya? Ini berakar dari memori publik yang masih keras di kepala publik itu bahwa sudah banyak kebohongan-kebohongan yang terjadi sebelumnya,” ujar Dafri.

Bamsoet sendiri sepenuhnya memahami adanya kekhawatiran mengenai perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode ini yang terjadi di ruang publik. Ia juga mewajarkan kekhawatiran publik akan adanya agenda-agenda sisipan dalam amandemen UUD 1945 itu karena amandemen tersebut dijalankan secara terbatas.

Namun, Bamsoet tetap mengatakan bahwa agenda amandemen UUD ‘45 ini tetap perlu dilakukan bagaimana pun juga. Hanya saja, menurutnya, agenda tersebut tak akan membahas perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode.

Pegiat pemilu, Titi Anggraini, melihat bahwa masyarakat harus terus menerus mengawal tindak-tanduk koalisi mayoritas di lingkaran elit pemerintah. Pasalnya, dia mengendus adanya kecenderungan menyisipkan agenda-agenda tertentu yang disinyalir hanya akan menguntungkan segelintir kelompok saja.

“Meskipun sudah ada jaminan dari para elit politik kita, tapi melihat kecenderungan pembahasan beberapa legislasi terakhir di mana misalnya koalisi mayoritas itu sangat relevan. Masyarakat sipil, publik, saya rasa juga perlu tetap memberikan atensi, mewaspadai, sehingga kita tidak perlu mengulangi sejarah krisis demokrasi di negara-negara lain,” ujar Titi.

149