Home Hukum Akademisi Ingatkan Ancaman Keamanan Manusia di Wilayah Perbatasan

Akademisi Ingatkan Ancaman Keamanan Manusia di Wilayah Perbatasan

Jakarta, Gatra.com - Ketua Pusat Studi Perbatasan Asia Tenggara Universitas Tanjungpura, Elyta mengatakan terdapat ancaman keamanan manusia di wilayah perbatasan. Salah satunya, terkait kasus-kasus perdagangan manusia bermodus pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke negara lain.

"Adanya perdagangan perempuan di perbatasan, dari penelitian yang kami lakukan, fokusnya kepada penanggulangan perlindungan perempuan di wilayah perbatasan Entikong, berdasarkan perspektif human security," katanya dalam Kuliah Umum FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara virtual pada Rabu (15/9).

Berdasarkan data hasil penelitiannya, Elyta menjelaskan, terdapat 411 kasus perdagangan perempuan dari total 462 pengiriman TKI pada tahun 2017 di wilayah perbatasan. Di tahun 2018, kasus perdagangan perempuan ini meningkat menjadi 460 kasus dari total 490 pengiriman TKI. Sedangkan di tahun 2019, terdapat 510 kasus perdagangan perempuan dari total 525 pengiriman TKI.

"Jadi dari tahun ke tahun sejak 2017 sampai 2019, kasus-kasus human trafficking, khususnya perdagangan perempuan semakin meningkat. Ini menjadi isu-isu yang yang sangat krusial yang harus cepat ditangani berdasarkan perspektif kemanan manusia," tegas Elyta.

Bahkan, berdasarkan laporan International Organizations for Migration (IOM), terdapat 711 korban perdagangan perempuan ke luar negeri melalui Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.

Elyta menyebut, untuk menangani isu-isu ini, perlu keterlibatan banyak pihak. Penanganan ini bisa dilakukan dengan strategi Integrated Border Policy. Dalam strategi ini, terdapat lima entitas yang harus terlibat untuk menangani isu-isu keamanan perbatasan.

Pertama, pemerintah sebagai political power atau pembuat kebijakan. Pemerintah harus merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan atau peraturan untuk menangani isu-isu ancaman keamanan manusia.

Kedua, masyarakat sebagai kekuatan sosial. Aktor-aktor non pemerintah seperti LSM dan komunitas-komunitas masyarakat harus melakukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.

"Ketiga adalah aktor dari akademisi yang berfokus memberikan knowledge power, dengan melakukan sosialisasi penguatan-penguatan pemberdayaan masyarakat, penelitian, KKN, dan PKN," ucapnya.

Keempat, media massa yang berperan sebagai communication power. Keberadaan media massa harus bisa membantu mempublikasikan dan mempromosikan daerah-daerah perbatasan, khususnya dari sektor pariwisata.

Kelima, pengusaha yang menjadi economic power. Para pengusaha ini memiliki peran untuk menjadi investor dan mengelola perekonomian di daerah perbatasan. Sehingga, bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.

313