Home Politik Ini Potensi Masalah Pemilu 2024 menurut KoDE Inisiatif

Ini Potensi Masalah Pemilu 2024 menurut KoDE Inisiatif

Jakarta, Gatra.com – Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mencatat bahwa pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan di Komisi II DPR RI, terdapat perbedaan usul terkait jadwal dan tahapan pemilu 2024 antara Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Berdasarkan hasil kesepakatan tim kerja bersama yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, KPU menyepakati bahwa pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) akan dilaksanakan pada 21 Februari 2024. Sementara, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 November 2024.

Sementara itu, pada RDP 16 September 2021, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan agar pemungutan suara Pemilu 2024 dilaksanakan pada April atau Mei 2024 dengan dasar stabilitas keamanan dan politik di Indonesia.

Perbedaan ini lantas dinilai menimbulkan beberapa pertanyaan bagi publik terhadap serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim kerja bersama yang dibentuk untuk mengurai kerumitan tahapan Pemilu 2024.

Ihsan menilai bahwa selain faktor keamanan, persoalan regulasi dan kepastian anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan juga dapat menjadi permasalahan. "Tim Kerja Bersama sudah sepatutnya melakukan simulasi tahapan yang akan berdampak pada terjadinya konflik, instabilitas keamanan dan bahkan dampak yang akan terjadi di pemilu 2024," katanya. 

Ia juga menguraikan masalah yang berpotensi terjadi. "Yang pertama adalah masalah regulasi," katanya. Ia menilai bahwa regulasi jadwal dan tahapan yang ditetapkan secara berlarut-larut, lambat dan mendekati tahapan pemilu akan memunculkan potensi permasalahan baru dalam tahapan pemilu dan pilkada 2024.

Selain itu, lanjutnya, regulasi yang tumpang tindih antara UU Pemilu dan UU Pilkada juga dapat menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu 2024. Pasalnya beberapa ketentuan yang ada di UU Pemilu dan UU Pilkada belum saling sinkron satu dengan yang lainnya.

Yang kedua adalah masalah anggaran. Menurut Ihsan, efisiensi Anggaran sebagaimana Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 tentang keserentakan Pemilu patut dipertimbangkan agar tidak terjadi pemborosan dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada 2024.

"Namun, anggaran yang minim dan tidak memadai juga dapat membuka ruang potensi permasalahan seperti tahapan yang tidak dapat dilakukan secara optimal, padahal beban penyelenggaraan pemilu dan pilkada di tahun 2024 sangat besar," ujar Ihsan.

Selain itu, Ihsan melihat bahwa ketidakpastian anggaran pilkada juga berdampak pada penentuan jadwal dan tahapan pemilu. Pasalnya UU Pilkada menentukan anggaran Pilkada menjadi tanggungjawab daerah atau APBD melalui skema hibah (NPHD). Untuk tidak merumitkan penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024. Persoalan anggaran pilkada juga sebaiknya menjadi perhatian dalam penentuan jadwal dan tahapan pemilu dan pilkada 2024.

Yang ketiga, Ihsan juga meminta agar ada pertimbangan gangguan keamanan dan stabilitas politik. "Jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) membuka ruang polarisasi yang tajam di masyarakat seperti praktik Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Hal ini juga bermula akibat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang cukup tinggi," tuturnya.

Selain itu, Ihsan melihat bahwa waktu tahapan yang terlalu panjang atau lama serta terlalu singkat juga membuka ruang memperpanjang polarisasi yang terjadi di masyarakat. "Misalnya saja waktu untuk tahapan pencalonan yang begitu singkat dan waktu tahapan kampanye yang lama juga bisa berdampak pada polarisasi di masyarakat," katanya.

Untuk itu, KoDe Inisiatif memberikan beberapa rekomendasi dan langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi gangguan keamanan dan stabilitas serta menjamin kepastian hukum penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024.

Ihsan mendorong Tim Kerja Bersama yang terdiri dari KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan DPR untuk melakukan konsolidasi lebih lanjut terkait dengan kesepakatan jadwal dan tahapan secara transparan dan melakukan diskusi dan kajian bersama soal peluang dan potensi permasalahan lain yang akan berdampak pada proses penentuan jadwal dan tahapan pemilu 2024.

Selain itu Ihsan juga menilai bahwa Tim Kerja Bersama perlu menentukan jadwal dan tahapan pemilu dan pilkada 2024 demi kepastian hukum, melakukan mitigasi bersama soal potensi permasalahan di regulasi, anggaran dan keamanan, serta melakukan penelusuran terkait kebutuhan hukum dan sinkronisasi aturan di level UU seperti UU Pemilu dan UU Pilkada dan mendorong optimalisasi perbaikan aturan teknis penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024.

Sementara untuk partai politik, Ihsan mendorong lahirnya lebih dari 2 (dua) paslon Presiden dan Wakil Presiden untuk mengurai polarisasi yang terjadi di masyarakat. "Partai harus bergerak untuk melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan koridor hukum dan aturan yang berlaku dan meminimalisir terjadinya konflik diakar rumput yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan," katanya.

Sementara untuk penegak hukum, Ihsan mendorong para penegak hukum untuk melakukan mitigasi sejak awal terkait tahapan yang potensial akan berdampak pada stabilitas politik dan gangguan keamanan. Selain itu, ia juga meminta agar penegak hukum melakukan penegakan hukum, khususnya berkaitan dengan penegakan hukum pemilu yang tidak berlarutlarut dan dilakukan secara transparan.

2006