Home Info Sawit Pemerintah Siapkan Insentif Bagi Pemegang Sertifikat Sawit Berkelanjutan Sektor Hilir

Pemerintah Siapkan Insentif Bagi Pemegang Sertifikat Sawit Berkelanjutan Sektor Hilir

Jakarta, Gatra.com - Pemberian insentif bagi para pihak yang terlibat di sektor indsutri sawit pemegang sertfiikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sangat mendesak untuk segera dilakukan. Dengan sertifikat tersebut, maka petani atau perusahaan pengolah sawit itu telah menerapkan praktik budidaya perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Dengan penerapan ISPO itu pula, seharusnya tidak ada lagi tudingan-tudingan yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit itu merusak lingkungan. Justru sebaliknya, budidaya kelapa sawit sangat bersahabat dengan alam.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Emil Satria dalam sebuah Webinar Rabu 22/9 lalu mengatakan, saat ini pemerintah selain di hulu, juga sedang menggodoik pemberian sertifikat bagi pegiat industri sawit di hilir. Insentif bagi pemegang ISPO tersebut dapat berupa diskon harga gas industri maupun tunjangan pajak.

Fasilitasi tersebut diprioritaskan untuk industri sawit hilir."Akan kami coba, industri yang mendapatkan ISPO supaya menjadi mitra prioritas dalam layanan-layanan tersebut," katanya.

Emil menambahkan akselerasi sertifikasi ISPO di sektor sawit hilir atau rantai pasok merupakan respons dari tren konsumen produk turunan crude palm oil (CPO) global yang makin sadar akan isu keberlanjutan.

Jika telah diundangkan nantinya, regulasi ini akan menjadi pelengkap bagi sertifikasi ISPO hulu yang sudah berlaku sejak 10 tahun lalu.

ISPO hulu diketahui memiliki tiga skema yakni produksi, pabrik, dan integrasi. Dengan tambahan satu skema di sisi rantai pasok, ISPO akan menjadi lengkap dalam satu kesatuan. "Kami sepakat bahwa ini masuk di dalam skema 4, satu kelembagaan ISPO jadi tidak perlu kita dikotomikan lagi hulu dan hilirnya," jelasnya.

Emil juga mengatakan dalam postur regulasi ISPO hilir, Kemenperin mengakomodasi rencana harmonisasi standar keberlanjutan kelapa sawit global yang dibentuk negara produsen kelapa sawit lain, seperti Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) dan dikoordinasikan oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC).

Sampai saat ini, skema ISPO belum dapat memberikan insentif seperti yang ada di skema Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).Sehingga petani kurang berminat untuk ikut bergabung di ISPO.

Dibawah skema RSPO, para pembeli membayar harga premium bagi minyak kelapa sawit yang berasal dari perkebunan tersertifikasi. Walaupun harga ini diterima oleh perusahaan yang mengumpulkan dari petani dan memroses serta mengekspor minyak kelapa sawit, banyak perusahaan mengembalikan premium tersebut kepada petaninya dalam bentuk dana yang dapat dipergunatkan petani untuk meningkatkan ataupun melanggengkan praktik tanam keberlanjutan mereka.

Meski pun begitu, sertifikasi ISPO oleh pengusaha kelapa sawit tercatat mengalami percepatan dalam satu tahun terakhir. Sejak penerbitan beleid terbaru, yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.38/2020, terdapat 139 sertifikat ISPO yang dikeluarkan sampai dengan 20 Juni 2021.

Implementasi mandatori ISPO telah mencapai satu dekade pada tahun ini dan pertama kali diundangkan pada Permentan No.11/2011.

Dan setelah periode awal, pada periode kedua, pemerintah menerbitkan Permentan No. 11/2015 yang kemudian berhasil menggerakkan capaian menjadi 494 sertifikat, terdiri atas 480 perusahaan, 4 koperasi unit desa (KUD), dan 10 koperasi. Adapun aturan teranyar tertuang dalam Permentan No. 38/2020.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani menyatakan, hingga Juni 2021 lahan sawit yang mendapatkan sertifikasi ISPO mencapai 5,8 juta hektare.

Adapun jumlah sertifikat yang diterbitkan sebanyak 760 yang terdiri dari 746 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 Koperasi Unit Desa (KUD) plasma. “Kita lihat pencapaiannya semakin maju dan baik, bahkan sebanyak 139 sertifikat diterbitkan selama pandemi,” katanya.

633