Home Politik Agus Sudibyo: Media Mainstream Bukan lagi Koran, Radio, dan Televisi

Agus Sudibyo: Media Mainstream Bukan lagi Koran, Radio, dan Televisi

Jakarta, Gatra.com – Ketua Komisi Hubungan Antar-Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan, korporasi dan media massa masih saling membutukan pada era digital ini.

"Di era sekarang ini, korporasi dan media massa saling membutuhkan," kata Agus dalam webinar bertajuk "Quo Vadis Jurnalisme Vs Korporasi di Era Digital" pada pekan ini.

Menurutnya, praktik bermedia, baik memproduksi dan mendistribusikan konten maupun praktik berpromosi melalalui media harus diletakkan dalam konteks lingkaran sistemik digitalisasi.

"Kita harus sudah mempertimbangkan evolusi ekologi media yang terbentuk oleh transformasi digital, berkaitan dengan sosial media, berkaitan dengan teknologi cloud computing, teknologi AI, mesin learning dan seterusnya," kata dia.

Dalam konteks lingkaran sistem digitalisasi ini, ternyata sebagai media mainstream itu bukan lagi media cetak, radio, dan televisi, mealainkan trilogi new media, yakni seach engine, media sosial, dan ecommerce.

"Jadi yang mainstream hari ini, itu adalah ya Microsoft dengan berbagai end to end servisnya, Apple, Google, Amazon, Facebook," katanya.

Menurut Agus, merekalah yang sebenarnya layak disebut sebagai mainstream media dari sisi kekuatan ekonomi, politik, karena menggerakkan masyarakat dari kemampuan mereka melakukan surveilans secara global. "Merekalah yang disebut media mainstrem," ujarnya.

Ia mengungkapkan, hal tersebut menimbulan masalah baru bagi para pengiklan jika melihatnya dari faktor skala dan interaktivitas karena sudah pasti pengiklan mendahulukan media-media tersebut.

"Facebook, Amazon, Google, YouTube, dan seterusnya. Pasti itu yang dipertimbangkan. Di Indonesia sekarang masih televisi, tetapi itu diperkirakan shifting-nya tidak akan lama lagi," ujarnya.

Meski demikian, Agus mengungkapkan bahwa teknologi atau platform digital juga mempunyai batas atau limitasi. "Di AS, sedang meresakan digital ads placement. Ini fonomena cukup lama, tetapi masih terjadi. Bagaimana iklan-iklan itu muncul di konten clickbait," katanya.

Ia mencontohkan, iklan Toyota muncul di konten-konten anti-Yahudi. Ini akibat pekerjaan yang awalnya dikerjakan oleh manusia, kini diambil alih oleh mesin atau teknologi.

"Ini karena algoritma itu berhasil idenetifikasi dengan cepat, orang yang menyukai Toyota adalah orang Asia, sebagian orang Asia itu muslim. Sebagian muslin ini, saya enggak tahu berapanya, itu anti-Yahudi. Maka iklan Toyota digrupkan dengan pesan-pesan anti-Yahudi," katanya.

Toyota pun kemudian memboikot YouTube dan marah. Kejadian ini sudah berkali-kali, yakni iklan yang baik tidak selalu menempel pada konten yang bagus. "Inilah yang disebut digital mis adv place," ujarnya.

Kasus serupa juga menimpa Jaguar, Land Rover, Johnson-Johnson, dan Thomson Reuters. Mereka pun memboikot YouTube karena iklan mereka tampil di video ISIS yang penuh kekerasan dan mengerikan.

"[Johnson-Johnson] ini terjadi karena algoritma YouTube, karena orang yang membutuhkan bedak bayi itu ibu-ibu, sebagian ibu-ibu itu cenderung mempunyai preperensi tertentu kepada ISIS," katanya.

Karena itu, muncul kesadaran para pengiklan atau korporasi untuk memasang iklannya di media massa konvensional. Namun sayangnya, media massa konvensional pun sekarang sudah bergeser, misalnya soal konteks clickbait.

"Di AS misalnya pada Pilpres 2019-2020 itu alih-alih menjadi sumber informasi yang lebih baik dari medsos, malah mereka ikut medsos dalam artian negatif, medos penuh permusuhan, di media massa konvensional juga begitu. Ketika korporasi atau publik butuhkan medium yang lebih baik, media massanya juga ikut-ikutan," katanya.

Karena itu, Agus mengingatkan, media massa jika ingin bertahan di era disrupsi teknologi, pastinya harus berorientasi pada jurnalisme berkualitas, menegakkan kode etik, dan mampu mendeferensi produk, tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang sudah habis-habisan dikerjakan medsos, mendekatkan diri dengan pembacanya, dan kembali pada kualitas.

"Saya kira, kalau media massa itu bisa mewujudkan itu, saya kira akan kembali dilirik pengiklan atau korporasi. Jadi menurut saya, dalam konteks hari ini, saling membutuhkan antara media massa dan korporasi," ucapnya.

4150