Home Hukum Pukat UGM: Segala Cara Dicari Agar 57 Pegawai Tak Lagi Bekerja di KPK

Pukat UGM: Segala Cara Dicari Agar 57 Pegawai Tak Lagi Bekerja di KPK

Yogyakarta, Gatra.com - Sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat ujian alih status pegawai menjadi ASN diberhentikan pada akhir September ini. Ada pihak tertentu yang dinilai berupaya lewat segala cara untuk menyingkirkan mereka dari KPK.

Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, Yuris Rezha Kurniawan, menyatakan kondisi itu bagian dari dampak revisi UU KPK yang mengharuskan alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Menurutnya, pemecatan 57 pegawai KPK tersebut akan berimplikasi pada kinerja KPK di masa mendatang. “Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu. Karena kondisi yang menimpa KPK hari ini adalah dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik,” kata Yuris di laman UGM, Kamis (30/9). 

Yuris menyebut dua persoalan menimpa KPK sejak awal hingga pemecatan 57 pegawai. Pertama, proses pemilihan pimpinan KPK yang cenderung bermasalah. Kedua, revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.

“Ke depan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi,” tegasnya.

Padahal Ombudsman dan Komnas HAM sudah menyatakan bahwa proses TWK diduga penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM. Menurutnya, Presiden Joko Widodo bisa mengambil keputusan dan sangat wajar jika publik berharap presiden memperbaiki kondisi KPK.

Presiden adalah pimpinan tertinggi eksekutif yang melaksanakan perintah undang-undang sekaligus pimpinan tertinggi ASN. “Justru saat Presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan peran Presiden dalam dua kewenangannya tersebut,” paparnya.

Yuris yakin masalah sebetulnya bukan soal 57 pegawai KPK tersebut. Namun ada upaya pihak tertentu untuk menyingkirkan 57 pegawai dari lembaga KPK. “Seolah poin utama dari proses alih status pegawai KPK ini adalah mencari segala cara agar 57 pegawai tersebut tidak lagi bekerja di KPK,” ujarnya.

Menurut Yuris, KPK, terutama bagi pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas), harus introspeksi diri saat ada pejabat KPK terlibat kasus korupsi dan melanggar etika.

“Dua pimpinan telah terbukti melanggar etik bahkan salah satunya adalah pelanggaran etik berat yang kuat mengarah pada tindakan pidana. Mana mungkin KPK bisa menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang efektif kalau di tingkat pimpinan saja tidak zero tolerance terhadap praktik koruptif,” jelasnya .

Selain itu, ia menyoroti kinerja Dewas yang bak macan ompong. “Dewas tidak berani mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran di internal KPK. Dibandingkan Dewas hari ini, justru sistem pengawasan internal KPK sebelum adanya revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum pihak internal KPK yang melakukan pelanggaran,” katanya.

Melihat kondisi KPK saat ini, Yudi menilai sudah sangat wajar jika kepercayaan publik terhadap KPK menurun berdasarkan hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia belum lama ini. Menurutnya, tugas publik harus tetap kritis dan terus melakukan pengawasan terhadap KPK.

“Mengkritik kondisi KPK hari ini bukan berarti membiarkan praktik korupsi berjalan di pemerintahan. Bagi publik, yang terpenting adalah negara bertindak nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” pungkasnya.

1352