Home Ekonomi Pungutan PNBP Meroket, Ratusan Nelayan di Tegal Mogok Melaut

Pungutan PNBP Meroket, Ratusan Nelayan di Tegal Mogok Melaut

Tegal, Gatra.com – Ratusan pemilik kapal di Kota Tegal, Jawa Tengah, akan mogok melaut untuk memprotes terbitnya peraturan terkait kenaikan besaran pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Selain pemilik kapal, kebijakan itu juga akan berdampak pada belasan ribu anak buah kapal (ABK).

Salah satu pemilik kapal, Riswanto, mengatakan, para pemilik kapal sudah sepakat untuk mogok melaut mulai Kamis (7/10) karena keberatan dengan kenaikan besaran PNBP dan PHP seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 87 Tahun 2021.

"Kesepakatan kawan-kawan, mulai tanggal 7 Oktober 2021 ikat kapal sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kalau misalnya ada kapal yang baru pulang melaut, tidak akan berangkat lagi," katanya, Rabu (6/10).

Menurut Riswanto, terdapat sekitar 700 kapal yang dipastikan tidak akan berangkat melaut. Jumlah itu baru kapal dengan alat tangkap cantrang yang sekarang sudah berganti menjadi alat tangkap jaring tarik berkantong.

"Kita berharap yang mogok kapal dengan semua alat tangkap, tetapi karena 80% di Tegal itu kapal eks cantrang, ya hampir 700-an kapal. Kalau ditambah alat tangkap lain ya jumlahnya 900-an kapal," ujarnya.

Riswanto mengatakan, aksi mogok melaut tersebut dilakukan agar pemerintah menurunkan besaran PNBP dan PHP yang harus dibayarkan setelah terbit PP Nomor 85 Tahun 2021 beserta aturan turunannya. Sebab, kenaikan besaran PNBP dan PHP yang mencapai 400% sangat memberatkan.

"Kalau pemerintah butuh dengan kenaikan kita siap bayar, tapi dengan kenaikan yang wajar lah. Maksimal 50% dari sebelumnya. Kalau kenaikannya sampai 400% kita berat, kita akan kolaps," ujar Riswanto yang juga Ketua KUD Karya Mina itu.

Menurut dia, kenaikan yang mencapai 400% tersebut karena harga patokan ikan yang ditentukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di PP Nomor 85 Tahun 2021 dan menjadi acuan besaran pungutan tidak sesuai dengan harga patokan ikan di daerah.

"Harga patokan di daerah kan lebih rendah, lebih murah dari harga patokan yang ditentukan KKP. Contoh, misalnya cumi beku. Di Tegal rata-rata harganya Rp50 ribu, tapi patokan yang ditentukan KKP sampai Rp75 ribu. Itu kan sangat tinggi. Tidak sesuai," ujarnya.

Selain harga patokan ikan yang tidak sesuai, Riswanto juga menyoroti tingginya angka produktivitas yang juga dijadikan sebagai komponen acuan dalam peraturan, yakni mencapai 172 ton. Padahal, rata-rata hasil tangkapan ikan dalam sekali melaut hanya berkisar 40–50 ton, sehingga satu tahun maksimal hanya mencapai 150 ton.

"Itu sangat tidak realistis di daerah. Masak kita dituntut satu trip [sekali melaut] harus bawa di atas 50 ton. Kan volume kapal kita tidak sama dengan apa yang diterapkan di komponen di KKP. KKP itu ngitungnya gross ton, bukan volume kapal yang jadi tempat ikan. Jadi produktivitasnya akan tinggi terus kalau ngitungnya gross ton, karena tempat-tempat kosong di kapal itu diukur," ujarnya.

Oleh karena itu, Riswanto berharap dengan adanya mogok massal melaut, pemerintah menurunkan besaran PNBP dan PHP yang harus dibayarkan pemilik kapal. Selain pemilik kapal, dia menyebut aturan penarikan pungutan PNBP pascaproduksi penangkapan ikan juga akan berdampak pada para nelayan yang menjadi ABK.

"Nelayan atau ABK di Tegal ada sekitar 18 ribu. Kalau kebijakan penarikan pascaproduksi itu nanti diberlakukan, pendapatan mereka juga akan berkurang karena kita sistemnya kan bagi hasil. Biasanya dua bulan bisa dapat Rp5 juta, kemungkinan hanya dapat satu juta. Kasihan ABK-nya," kata dia.

1819

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR