Home Hukum Moratorium PKPU & Kepailitan Solutif jika Pemerintah Perhatikan Kepentingan Kreditur

Moratorium PKPU & Kepailitan Solutif jika Pemerintah Perhatikan Kepentingan Kreditur

Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW), Akbar Hidayatullah, menilai bahwa moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailtan bisa menjadi solusi tepat atau solutif jika pemerintah memperhatikan kepentingan kreditur.

Selain itu, lanjut Akbar pada Kamis (7/10), pemerintah bisa mendorong revisi Undang-Undang (UU) PKPU dan Kepailitan dan memasukkan instrumen Insolvency Test yang disandarkan pada lebih dari satu indikator insolven.

“Tidak seperti yang diaplikasikan saat ini yang hanya didasari adanya cash insolvency, bahkan kepailitan bisa dijatuhkan hanya karena debitur terbukti secara sederhana tidak membayar 1 utang yang telah jatuh tempo,” ujarnya.

Ia mengunkapkan, selain moratorium PKPU dan Kepailitan, pemerintah telah berupaya dengan melakukan relaksasi kredit terhadap sektor terdampak langsung, namun hal tersebut juga tidak banyak membantu.

“Pandemi Covid-19 berdampak masif terhadap ekonomi dan bisnis di seluruh dunia, terlebih lagi Indonesia. Dengan mudahnya usaha dari para pelaku bisnis mengalami keadaan insolven (gagal bayar),” katanya.

Akbar menjelaskan, ada beberapa keterbatasan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Kepailitan). Pertama, persyaratan minimum dengan hanya satu kreditur untuk mengajukan permohonan pailit (sementara membuktikan ada kreditur lain) menunjukkan bahwa regulasi bertentangan dengan asas hukum kepailitan itu sendiri, karena harus ada keseimbangan bagi semua kreditur.

"Para kreditur lainnya, yang tidak ingin mengajukan permohonan pailit, menjadi harus mendaftarkan klaim mereka dalam proses kepailitan,” ungkap Akbar.

Kedua, lanjut praktisi hukum bisnis ini, kreditur boleh mengajukan permohonan untuk menangguhkan pembayaran debitur. Menurutnya, hal ini tidak logis jika si kreditur yang mengajukan permohonan (PKPU) namun di saat bersamaan juga mengajukan proposal penyelesaian. “Ketiga, biaya administrator atau kurator yang begitu mahal,” ujarnya.

Menurut Akbar, tiga hal tersebut menjadikan UU Nomor 37 Tahun 2004 sebagai regulasi kepailitan paling kejam di Asia, di Amerika Serikat, debitur dinyatakan insolven apabila telah memenuhi Insolvency Test yang telah digunakan, yaitu Balance Sheet Test, Equity Test, dan Transactional Test.

“Sedangkan di Indonesia, debitur dinyatakan pailit apabila seceara sederhana dia telah terbukti tidak membayar lunas 1 utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dan mempunyai kreditur lain, tidak mempertimbangkan apakah jumlah hartanya lebih besar dari pada jumlah utangnya atau sebaliknya,” kata Akbar.

511