Home Gaya Hidup Mengulik Potensi Minyak Jelantah sebagai Suplai Bahan Biodiesel

Mengulik Potensi Minyak Jelantah sebagai Suplai Bahan Biodiesel

Jakarta, Gatra.com – Ketimbang dibuang ke saluran drainase dan berpotensi mencemari lingkungan, minyak jelantah (used cooking oil) dinilai bisa dimanfaatkan sebagai alternatif ketersediaan pasokan (feedstock) biodiesel.

Manajer lembaga riset independen Traction Energy Asia, Ricky Amukti, mengungkapkan bahwa Jakarta punya ketersediaan minyak jelantah yang melimpah yang berasal dari limbah rumah tangga dan UMKM.

“Sebenarnya Jakarta itu memiliki potensi yang cukup besar. Setidaknya Jakarta itu mempunyai potensi used cooking oil atau minyak jelantah itu sebesar 12 juta liter atau 12.000 kiloliter per tahun,” ujar Ricky dalam sebuah diskusi virtual yang digelar pada Kamis, (7/10/2021).

“Ini bisa menjadi peluang sebenernya untuk Jakarta untuk menyuplai 20% feedstock biodiesel-nya sendiri dengan menggunakan minyak jelantah yang dari rumah tangga dan UMKM. Itu 20% dari rumah tangga dan UMKM saja. Belum nanti dihitung kalau dari hotel, restoran, café. Pasti angkanya akan jauh lebih tinggi,” imbuh Ricky.

Selain itu, Ricky juga menambahkan bahwa emisi yang dihasilkan oleh minyak jelantah juga jauh lebih rendah dibandingkan biodiesel lainnya. Menurutnya, minyak jelantah mengeluarkan emisi sebanyak 80%-90% lebih rendah dibanding emisi solar atau diesel.

Lagi pula, menurut Ricky, limbah rumah tangga yang salah satunya adalah minyak jelantah pada dasarnya memang menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam mengelolanya. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Sementara itu, peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT), Tenny Kristiana, menyebut bahwa sebetulnya minyak jelantah tak hanya berpotensi dijadikan sebagai bahan ketersediaan pasokan biodiesel saja, tetapi juga bahan green-diesel.

“Minyak jelantah itu bukan cuma buat biodiesel doang. Itu bisa dijadiin green diesel, bisa dijadiin green fuel kita, bahan baku untuk bio avtur,” ujar Tenny di kesempatan yang sama.

“Jadi, minyak jelantah itu menjadi jawaban segala umat. Maksudnya bisa dijadiin biodiesel, bisa dijadiin green diesel juga,” imbuh Tenny.

Tenny juga menambahkan bahwa pemerintah harus berinisiatif untuk mempertimbangkan minyak jelantah sebagai sumber pasokan biodiesel. Menurutnya, minyak jelantah lebih baik diolah lagi menjadi bahan pasokan biodiesel ketimbang menjadi polutan bagi tanah dan air ketika dibuang ke saluran drainase.

Sementara itu, di satu sisi, utusan khusus Gubernur DKI Jakarta untuk perubahan iklim, Irvan Pulungan, memahami sepenuhnya bahwa minyak jelantah sangat berpotensi untuk dijadikan bahan pasoan biodiesel. Namun, di sisi lain, ia meminta para peneliti untuk mempertimbangkan juga aspek-aspek lain yang sifatnya lebih kultural.

Menurut Irvan, masyarakat Indonesia masih sering menggunakan kembali minyak jelantah untuk mengolah masakan yang baru, seperti pada olahan sambal terasi yang sering kali menggunakan minyak jelantah sebagai salah satu bahannya.

“It’s cultural di Indonesia. Jadi, selama masih dipakai untuk sambel terasi, ya sulit [untuk melakukan pengumpulan minyak jelantah untuk dijadikan bahan pasokan biodiesel],” ujar Irvan.

Irvan masih memperhatikan beberapa catatan soal potensi minyak jelantah ini. Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta belum secara spesifik merencanakan hal tersebut. Akan tetapi, katanya, mereka tengah melakukan kajian-kajian untuk mengatasi kegagalan-kegagalan sebelumnya, termasuk kegagalan dalam mekanisme pengumpulan minyak jelantah dari rumah tangga atau UMKM.

“Jadi, menurutku memang perlu kerja sama dengan teman-teman yang ada di sini untuk tidak hanya memastikan teori dan riset itu benar di atas kertas, tapi bisa dieksekusi dengan baik,” ujar Irvan.
 


 

162