Home Hukum Pimpin APHA Indonsia Timur, Dekan FH Uncen Perjuangkan UU Hukum Adat

Pimpin APHA Indonsia Timur, Dekan FH Uncen Perjuangkan UU Hukum Adat

Jakarta, Gatra.com – Dekan Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih (FH Uncen) Jayapura, Dr. Frans Reumi, terpilih sebagai Ketua Perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Timur menggantikan Dr. Hendrik Krisifu, S.H., M.A., yang wafat belum lama ini.

“Ini dimaksudkan agar permasalahan hukum adat yang ada di Indonesia Timur dapat terakomodir. Banyaknya kegiatan APHA dan agar fokusnya kegiatan APHA untuk di wilayah Indonesia Timur, sangat diperlukan perwakilan APHA di Indonesia Timur,” ujar Dr. Laksanto Utomo, Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia pada Jumat (8/10).

Pengisian kepengurusan ini, lanjut Laksanto, juga merupakan upaya meningkatkan kinerja dan mewujudkan visi dan misi organisasi, termasuk advokasi bagi masyarakat hukum adat di wilayah timur Indonesia.

“Untuk memenuhi keperluan-keperluan akademis dan praktisi untuk hal-hal sehubungan dengan kearifan lokal di daerah masing-masing,” ujarnya.

Menurutnya, ini merupakan komitmen APHA Indonesia untuk membentuk kepengurusan di tiga wilayah, yakni Indonesia Timur, Tengah, dan Barat, salah satunya guna meningkatkan upaya melahirkan Undang-Undang Masyarakat Hukum yang saat ini belum juga disahkan pemerintah dan DPR.

“Sebagai komitmen dari APHA Indonesia yang selalu mendukung untuk sesegera mungkin RUU Masyarakat Hukum Adat ini segera disahkan, saat ini di Prolegnas DPR RI,” ujarnya.

Laksanto mengungkapkan, terpilihnya Frans Reumi merupakan hasil dari pemilihan yang digelar pada Kamis petang kemarin. Dalam pemilihan yang berlangsung secara virtual tersebut, Dekan FH Uncen ini terpilih dari hasil musyawarah mufakat.

Sementara itu, Frans Reumi menyampaikan, siap mengemban amanah yang diberikan untuk mewujudkan visi dan misi APHA Indonesia, di antaranya mengenai hukum adat di Nusantara yang belum sejajar dengan hukum negara.

“PR [Pekerjaan Rumah] untuk kita ke depan dalam tentukan kondisi hukum atau sistem hukum yang berada dalam situasi pluralisme sekarang, saya kira ini yang penting sekali bagi kita untuk menemukan kepastian hukum, terutama hukum adat ini disejajarkan untuk duduk di dalam hukum negara sebagai bagian dari sistem hukum yang memang hidup sampai hari ini,” ujarnya.

Ia melanjutkan, hukum adat masih harus diperjuangkan karena sistem hukum di Indonesia selalu mengabsolutkan yang tertulis memiliki kepastian hukum, sehingga hukum adat menjadi pekerjaan rumah untuk berada dalam sistem civil law bukan common law.

“Yang saya katakan PR besar, kalau selalu mengabsolutkan yang dikodifikasikan itu yang selalu menjadi primadona, sehingga kita yang menekuni hukum adat, ini selalu menjadi PR sampai hari ini,” ujarnya.

“Saya bilang, sistem hukum adat harus berjuang melawan civil law karena dia selalu mengabsolutkan kodifikasi dan unifikasi hukum,” ujarnya.

Yang masih menjadi pekerjaan rumah lainnya, lanjut Frans, yakni peradilan adat. “Perdilan adat harus ditempatkan sebagai pradilan khusus dalam sistem desentralisasi peradilan di Indonesia,” katanya.

Menurut Frans, peradilan adat harus diberikan tempat untuk menjadi lembaga peradilan khusus karena bisa mengakomodir fungsi-fungsi kehakiman dalam hal penyelesaian kasus di tengah masyarakat yang sangat majemuk, seperti di Papua, terutama di era desentralisasi. Otonomi Khusus Papua sangat mengakui Peradilan Adat karena Papua adalah wilayah kesukuan yang memegang teguh hukum adatnya.

“Papua sangat majemuk sekali, ini bukan masyarakat kerajaan, ini bukan masyarakat kesultanan, Papua 95% adalah masyarakat kesukuan, ini juga menjadi PR besar secara internal, terutama kami yang mendukung hukum adat di Papua,” ujarnya.

Adapun APHA Indonesia merupakan organisasi para pengajar hukum adat dari berbagai universitas atau pergurun tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta.

Sedangkan pemilihan diikuti oleh perwakilan dari Universitas Sahid Jakarta, Universitas Pancasila Jakarta, STIHPADA Palembang, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Universitas Khairun Ternate, Universitas Halu Oleo Kendari, Universitas Tadulako Palu, Universitas Andi Djema Palopo, serta Universitas Cendrawasih Jayapura.

216