Home Hukum Polisi Didesak Lanjutkan Penyelidikan Kasus Super Keji Ayah Kandung Perkosa 3 Anaknya di Luwu Timur

Polisi Didesak Lanjutkan Penyelidikan Kasus Super Keji Ayah Kandung Perkosa 3 Anaknya di Luwu Timur

Jakarta, Gatra,com- Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mendesak kepolisian untuk tetap melanjutkan penyelidikan kasus perkosaan tiga anak di bawah umur yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Diketahui, kasus yang meledak berkat reportase Eko Rusdianto di Project Multatuli itu kontan menuai amarah masyarakat lantaran korban yang masih kecil diperkosa ayah kandung sendiri, tetapi polisi justru menghentikan penyelidikan dengan dalih bukti yang dilampirkan ibu korban tidak cukup.

IJRS mengatakan, polisi harus berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, yang mengatur mengenai pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi dan korban tindak pidana.

"Kepolisan harus melanjutkan proses penyelidikan dengan memastikan prinsip keterbukaan, fair trial dan kepentingan terbaik bagi anak korban," kata Peneliti IJRS, Arsa Ilmi Budiarti melalui keterangan resminya, Sabtu (9/10).

Arsa mengatakan, pihak kepolisian juga perlu memperhatikan kondisi psikologis dan fisik, serta kebutuhan pemulihan anak dengan mengoptimalkan rekomendasi atau peran dari pihak lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial.

Selain itu, kata Arsa, polisi perlu mempertimbangkan bukti-bukti lain seperti Visum et Repertum, Visum et Repertum Psikatrikum (surat keterangan dokter jiwa), Visum et Repertum Psikologikum (hasil pemeriksaan psikolog), hasil pemeriksaan forensik, alat bukti elektronik.

IJRS tak hanya menyoroti polisi sebagai pihak yang berwenang untuk menuntaskan kasus ini. Arsa menyebut, pihak Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) juga harus memastikan adanya pendampingan hukum, sosial maupun psikologis kepada anak korban.

Secara umum, kata Arsa, pemerintah memang perlu melakukan evaluasi kebijakan hukum acara terkait kekerasan seksual untuk memastikan peradilan yang lebih transparan dan akuntabel, termasuk memastikan adanya mekanisme uji kelayakan terhadap pemenuhan asas fair trial dalam proses hukum perkara kekerasan seksual.

Lydia, bukan nama sebenarnya, melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. Berikut tulisan Project Multatuli.

Polisi menerima laporan Lydia pada 9 Oktober 2019. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan. Kemudian, ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.

Lydia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut tapi dilarang membacanya terlebih dulu. Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.

Pada 15 November, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak Lydia.

Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember. Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember. Surat itu memuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.

“Jadi rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?” kata Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.

Beberapa pekan setelah pencabulan itu, anak-anaknya mengeluh kesakitan. Di sebuah puskesmas di Luwu Timur, Lydia meminta surat rujukan untuk membawa anak-anaknya ke sebuah rumah sakit.

Berikut hasil pemeriksaannya yang ditulis Project Multatuli. Tulisan ini mengandung konten eksplisit.

Dalam surat rujukan itu tertulis diagnosis internal thrombosed hemorrhoid + child abuse. Kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan persenggamaan.

Diagnosis lain abdominal and pelvic pain. Kerusakan pada organ vagina akibat pemerkosaan.

Diagnosis selanjutnya vaginitis atau peradangan pada vagina dan konstipasi atau susah buang air besar.

Di rumah sakit rujukan itu, anak-anaknya memperagakan apa yang dilakukan ayah mereka setelah dokter bertanya apa penyebab luka-luka di bagian anus dan vagina.

Diagnosis awal, dokumentasi foto dan rekaman video, serta hasil pemeriksaan ke rumah sakit ini diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur. Polisi tidak melanjutkan secara serius temuan-temuan kekerasan ini.

“Kalau memang hasil visum polisi bilang tidak ada ada luka dan tidak terjadi apa-apa,” kata Lydia, “kenapa polisi menolak waktu saya mau kasih foto dan video ini? Mereka bilang simpan saja, tidak perlu itu.”

“Terus kenapa bisa pantat dan vagina anak saya luka sampai bengkak putih seperti kelihatan daging putih?

“Kenapa anak-anak saya menangis kesakitan setiap mau buang air kecil dan buang air besar? Kenapa anak-anak saya bilang ayahnya orang jahat dan tidak mau ketemu lagi sekarang?”

“Kalau pelaku memang tidak bersalah, kenapa dia tidak datang mencari anaknya, meminta kejelasan ke anak-anak?

“Kalau orang-orang bilang ini fitnah, kenapa anak-anak fitnah ayahnya seperti itu?”

“Kalau pertanyaan itu tidak terjawab, apakah polisi akan membantu menemukan jawabannya?

Tidak, kan.*

480