Home Gaya Hidup Lestarikan Alam Berbuah Desa Wisata Secangkir Kopi di Bibir Tebing

Lestarikan Alam Berbuah Desa Wisata Secangkir Kopi di Bibir Tebing

Gianyar, Gatra.com – Merasakan belaian angin saat mengayuh pedal melintasi jalanan yang naik turun sungguh mengasyikkan, apalagi pemandangannya berubah-ubah. Kadang hamparan padi yang berundak-undak, terus perkampungan warga, ganti lagi ke lembah, namun terik matahari pada siang itu tidak menyengat kulit kepala. Pohon rimbun jangkung-jangkung itu menutupi aspal hampir sepanjang perjalanan. Sepertinya pulau dewata ini tidak pernah berhenti memberi kejutan. Sekilas, bila sekedar melihat fotonya, orang akan menebak ini daerah Ubud. Ternyata salah, ini adalah Desa Taro di Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. “Asyik banget, masih asri, pohonnya lebat, no polusi....gak rame, ada macam-macam di sini,” kata Dyah Putri sambil memperlihatkan fotonya bersepeda di Desa Taro, (2/10).

 

Memang letaknya dekat Ubud, kalau berangkat dari arah selatan akan melewatinya, termasuk obyek wisata Tegallalang Rice Terrace. Untuk menuju ke sana hanya dibutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit dengan jarak 55 kilometer menggunakan kendaraan roda empat, kecepatan sedang, dari Bandara I Gusti Ngurah Rai. Kalau dari Tegallalang Rice Terrace hanya sekitar 15 – 20 menit, sekitar 8,5 kilometer ke arah utara. Rutenya dalam satu lintasan di Jalan Raya Pujung Kaja, tidak jauh dari situ akan ada belokan ke kiri, masuk ke Jalan Raya Bonjaka yang langsung menuju Desa Taro. Tapi harus hati-hati bila berkendara di sana karena jalannya tidak terlalu besar, bila bertemu kendaraan yang agak besar harus bergantian lewat.

Salah satu jalan utama di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Salah satu jalan utama di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Bicara pariwisata pada saat ini, tidak lepas dari situasi pandemi yang sedang menerjang dunia termasuk Indonesia. Seperti destinasi wisata lainnya di tanah air, pandemi Covid-19 juga memberikan dampak tidak bagus bagi pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali. Pembatasan sosial berskala besar dan akses terbatas keluar-masuk negara mempengaruhi penurunan jumlah wisatawan. Memang tindakan pencegahan penyebaran Covid-19 harus dilakukan, walaupun mempunyai efek lain yang kurang menggembirakan seperti ditutupnya obyek-obyek wisata, menurunnya tingkat okupansi hotel, hingga akhirnya menyentuh lapangan pekerjaan dan pekerjanya. Dikutip dari situs kemenparekraf.go.id mengenai Tren Pariwisata Indonesia di Tengah Pandemi (18/08), pandemi Covid-19 juga berdampak langsung pada berbagai lapangan pekerjaan di sektor pariwisata. Menurut data BPS 2020, sekitar 409 ribu tenaga kerja di sektor pariwisata kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Untuk dapat bertahan dalam situasi ini, para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif harus memiliki kemampuan adaptasi, inovasi, dan kolaborasi yang baik.

Salah satu terobosan dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru adalah mengembangkan kawasan pedesaan menjadi desa wisata. Potensi sumber daya ekonomi, alam, sosial, dan lingkungan hidup dikelola dan dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dikutip dari Kemenparekraf.go.id, "Desa wisata sangat potensial menjadi pencipta lapangan kerja yang kita rasa sangat dibutuhkan, terutama saat ini di tengah pandemi dan tantangan ekonomi," kata Menparekraf Sandiaga Uno saat hadir secara daring dalam kegiatan "IYES Goes To Campus" bersama Universitas Mulawarman dengan tema Potensi Ekonomi Kreatif Desa Berbasis Kearifan Lokal Menuju Desa Mandiri dan Sejahtera, Sabtu (2/10). Saat ini Kemenparekraf/Baparekraf mendorong program-program desa wisata dan desa kreatif, dengan mengembangkan digitalisasi produk dan jasa unggulan.

Pulau Bali mempunyai beragam atraksi wisata dari yang bersifat budaya, kesenian, hingga keindahan alam. ehati dengan program Kemeparekraf, Desa Taro pun telah bergerak menjadi desa wisata dengan menyuguhkan beberapa macam potensi wisata, yang tidak mungkin bisa diselesaikan turis hanya dalam 1 hari. Terbentuknya juga cukup unik, karena pada permulaan bukan sengaja membentuk desa wisata, melainkan semangat menjaga alam. “Awalnya memang menjaga lingkungan, menanamkan rasa cinta kebersihan yang dimulai dari anak-anak sekolah tingkat dasar pada setiap hari Minggu. Mereka sering dilibatkan dalam kegiatan membersihkan alam di seputar Alas Jaka, alas yang disucikan masyarakat Desa Adat Taro Kaja,” kata I Wayan Warka, Kepala Desa Taro (23/8). Sebelum menjadi kepala desa, ia terjun menjadi aktivis lingkungan dengan jabatan Kelian Subak Abian, atau penjaga alam untuk area seluas sekitar 200 hektar pada 2018. Bersama rekan-rekan aktivis lingkungan mendorong masyarakat agar ikut memelihara lingkungan, dan akhirnya Desa Taro menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori Penyelamat Lingkungan pada 2018.

Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA-Jongki Handianto)
Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di Desa Taro, Gianyar, Bali.
(GATRA-Jongki Handianto)

Mengelola Sampah Lingkungan

Selain pelestarian alam, masalah kebersihan lingkungan turut menjadi perhatian khusus dan tidaklah mudah. Kepala Desa Warka, atau perbekel dalam bahasa Bali, harus menggerakkan seluruh masyarakat yang berjumlah 10.939, untuk memahami dan menjalankannya. “Ketika diangkat menjadi perbekel, saya mempunyai kekuatan legal untuk berbuat lebih banyak dalam menjaga alam, dan kebersihan, termasuk menekan sampah dan penggunaan plastik,” ucap Perbekel Warka yang diangkat pada 2019. Tanpa membuang waktu lama, ia mengeluarkan Perdes atau Peraturan Desa No. 2 tahun 2020 mengenai pengelolaan sampah, terkait dengan Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2019, dan Peraturan Bupati Gianyar no 18 tahun 2019 tentang strategi mengatasi sampah plastik yang berasal dari masing-masing desa. Tidak sampai di situ, Gubernur Bali I Wayan Koster kembali memperkuat aturan dengan meluncurkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Di Desa/Kelurahan Dan Desa Adat Seluruh Bali.

Berbekal dari aturan-aturan tersebut, para tokoh-tokoh masyarakat seperti Ban Desa Adat, Kelian Dinas, dan pihak-pihak terkait berkumpul untuk musyawarah di balai desa. Sebagai informasi, Desa Taro terdiri dari 14 Banjar Dinas, 14 Banjar Adat dengan 2261 kepala keluarga. “Masyarakat di Bali taat kepada keputusan aturan yang berlaku di masing-masing adatnya. Aturan adat mengatur supaya masyarakat harus memilah sampah dari masing-masing rumah.....sanksinya pun ada. Yang utama itu pelestarian alamnya, untuk diwariskan ke anak-cucu, dan pariwisata adalah bonusnya,” tegas Perbekel berumur 44 tahun ini. Masyarakat diharuskan memilah sampah terlebih dahulu sebelum ditaruh di depan rumah, ketika dilanggar, maka sanksinya sampah tidak akan diangkut petugas. Sanksi kedua, akan ada teguran adari tokoh masyarakat khususnya dari beniste atau perjuru adat. Hukuman ketiga kalau masih membandel, nama dari si pelanggar akan diumumkan di balai desa dan dikenakan denda beras 10 kg atau dalam bentuk lain tergantung dari masing-masing desa adat.

Proses pengayakan untuk membuat pupuk kompos di TPS3R Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Proses pengayakan untuk membuat pupuk kompos di TPS3R Desa Taro, Gianyar, Bali.
(GATRA/Jongki Handianto)

Tampak dua truk dan sebuah pick-up parkir di dalam sebuah bangunan mirip dengan hanggar pesawat, tapi dengan ukuran lebih kecil. Beberapa orang sedang sibuk menurunkan muatan sampah yang dikumpulkan dari rumah-rumah masyarakat di Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Desa Taro. Tepat dibelakang bangunan ada seorang wanita sedang mendorong troli berisi sampah hasil sortir yang akan ditumpuk, sebagai salah satu proses pembuatan pupuk di lapangan tersebut. Deru mesin pengayak terdengar dari bangunan paling belakang, ada tiga petugas, dua wanita dan seorang pria, sedang sibuk mengolah sampah menjadi pupuk. Ini adalah situasi kesibukan pada siang hari di TPS3R dengan luas 24 are yang telah menjadi percontohan dan pelopor dalam pengelolaan sampah.

Kejutan-kejutan Taro tidak berhenti sampai di situ, beberapa obyek wisata telah menanti para turis.

Menurut Perbekel Warka, Desa Taro telah dirancang menjadi desa wisata sekitar 2016 – 2017, namun masih belum maksimal. Pada tahun 2018, mencoba mengembangkan atraksi kegiatan adat dan pemeliharaan monyet-monyet liar di Desa Pakraman Puakan. “Bersama penggiat desa wisata mencoba memulai ....apalagi setelah melihat potensi-potensi desa. Kami membuat dokumentasi untuk promosi tentang alam yang masih bersih. Kemudian kolaberasi dengan pokdarwis (kelompok sadar wisata),” kata pria berumur 44 tahun ini. Jerih payah mereka semakin terlihat ketika meraih juara harapan I tingkat nasional dalam Lomba Desa Nusantara 2019. Keberadaan Desa Taro yang luasnya 13,082 kilometer persegi mempunyai beberapa obyek wisata menarik, antara lain Hutan Bambu Semara Ratih, Taman Kunang-kunang, Air Terjun Yeh Pikat, Konservasi Lembu Putih, Pura Gunung Raung, dan Kampung Delodsema.

Konservasi Lembu Putih Suci di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Konservasi Lembu Putih Suci di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Konservasi Lembu Putih Suci

Saat memasuki kawasan parkir yang cukup luas, pengunjung akan langsung melihat monumen penghargaan Kalpataru yang diterima Desa Taro pada 2018. Patung Dewa Siwa menunggangi kendaraannya, sapi putih bertanduk atau Nandini, berdiri megah di tengah taman yang dikelilingi hijaunya rumput. Untuk masuk ke konservasi yang berada di Jalan Dalem Pingit, Banjar Taro Kaja, pengunjung dewasa dikenakan tiket sebesar 5000 rupiah dan anak-anak 3000 rupiah, dan waktu operasional dari jam 08.00 hingga 18.00. Tidak jauh dari situ, sepasang suami-isteri sedang asyik duduk di gazebo sambil menunggu putra-putrinya yang sedang bermain. Untuk bertemu dengan para lembu putih, pengunjung harus jalan lagi sekitar 75 meter ke bagian dalam taman, melewati arena bermain anak-anak.

Sejarah Lembu Putih Suci berkaitan dengan kedatangan Ida Resi Markandeya dari Gunung Raung, Jawa Timur, setelah menanam Panca Datu di Kuil Basukian. Sebagai informasi, Panca Datu adalah 5 jenis logam mulia yang biasanya ditanam sebelum membangun kuil. Kemudian Ida Rsi Markandeya memanfaatkan hutan yang kemudian membangun Pura Gunung Raung atau Parahyangan di Desa Taro. Lembu Putih yang dibawa beliau dari India digunakan sebagai sarana Upacara Yadnya. Berdasarkan itulah lembu putih disakralkan masyarakat.

Patung Dewa Siwa mengendarai Lembu Putih di Konservasi Lembu Putih Suci, Desa Taro, Gianyar. (GATRA/Jongki Handianto)
Patung Dewa Siwa mengendarai Lembu Putih di Konservasi Lembu Putih Suci, Desa Taro, Gianyar.
(GATRA/Jongki Handianto)

Pagar besi yang kokoh mengelilingi pusat konservasi berpenghuni kurang lebih 55 ekor lembu putih, ada yang sedang diikat dan ada juga dilepas. Mereka terlihat biasa saja dengan keberadaan pengunjung di dalam kandang. Bagi yang ingin memberi makan, mengabadikan, atau selfie bersama lembu putih suci ini juga diperbolehkan. Konon, masyarakat setempat juga datang ke sini untuk pengobatan alternatif dengan meminta keselamatan dan kesembuhan dari Ida Bhatara Siwa, Dewa yang dipercaya sebagai pemilik lembu putih suci ini. Sambil menikmati suasana taman, pengunjung juga dapat mengisi perut dengan hidangan lokal di Nandini Restoran. Fasilitas lain yang tersedia seperti wantilan atau ruang pertemuan, 2 Bale Bengong atau gazebo, dan sudah tentu toilet. Konservasi seluas 3 hektare dari 30 hektare yang masih dalam kondisi hutan ini, merupakan aset milik Desa Adat Taro Kaja yang dikelola oleh Yayasan Lembu Putih Taro.

Pura Gunung Raung di Desa Taro, Gianyar, Bali. (Gatra/Abdul Karim)
Pura Gunung Raung di Desa Taro, Gianyar, Bali. (Gatra/Abdul Karim)

Pura Gunung Raung

Keberadaan Desa Taro dan Pura Gunung Raung mempunyai hubungan yang tak terpisahkan. Berawal dari Resi Markandya melakukan perjalanan dari India menuju Asia Tenggara hingga ke beberapa tempat di Indonesia, akhirnya sampai di Gunung Raung pada abad ke-4. Pada saat melihat ke arah timur, beliau melihat ada sinar menyorot ke langit. Dengan segera Resi Markandya bersama 400 orang penduduk awal atau wong aga, berangkat ke asal sinar itu. Tetapi melalui hutan kramat, gangguan hewan liar, dan medan yang berat, banyak pengikut yang mati. Akhirnya Beliau pun kembali ke Gunung Raung untuk mencari petunjuk. Setelah menerima restu dan petunjuk Dewa Siwa, Resi Markandya kembali pergi ke asal sinar bersama 800 wong aga, tidak lupa membawa panca datu ke Gunung Agung.

Seorang warga sedang berdoa di luar Pura Gunung Raung, Desa Taro, Gianyar, Bali. (Gatra/Jongki Handianto)
Seorang warga sedang berdoa di luar Pura Gunung Raung, Desa Taro, Gianyar, Bali.
(Gatra/Jongki Handianto)

Perjalanannya tidak sia-sia karena berhasil menemukan asal sinar di sebuah hutan yang menyediakan segala kebutuhan para pengikutnya. “Resi Markandya akhirnya membangun tempat pemujaan atau parahyangan di tempat asal sinar itu ditemukan. Sekarang namanya Pura Gunung Raung,” tutur I Nyoman Tunjung, tokoh adat Desa Taro. Penjelasan sejarah atau cerita tersebut ia dapatkan secara turun temurun dari para pendahulu. Dalam situs resmi taro.desa.id, menjelaskan bahwa sejarah Desa Taro secara pasti belum bisa dipastikan, karena belum adanya lontar yang bisa menjadikan patokan.

Obyek wisata hutan bambu Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Obyek wisata hutan bambu Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Secangkir Kopi di Bibir Tebing

Setelah melewati hamparan padi di sebelah kiri-kanan jalan, pengunjung pasti akan melewati perumahan tradisional Delodsema di Jalan Taman Gajah Taro, Banjar Taro Kaja, yang mirip dengan Desa Penglipuran, Bangli. Kendaraan harus berjalan pelan, karena jalannya berundak-undak mirip anak tangga. Sesampai di ujung jalan, cahaya matahari mulai agak menghilang oleh rimbunnya pohon, itu artinya anda sudah masuk di kawasan wisata Semara Ratih. Terdapat dua fasilitas lapangan parkir, di atas dan di bawah. Bagi yang belum pandai berkendara, atau badan kendaraannya cukup lebar, dan ragu dengan mesin atau rem, lebih baik menggunakan parkir yang berada di atas. Jalannya cukup menurun tajam, di bawah berbelok seperti tapal kuda, kemudian naik lagi, terus turun lagi sampai di lapangan parkir bawah. Itu pun cukup satu mobil, tetapi jangan khawatir karena akan ada petugas yang mengatur. Setiap orang cukup membayar 5000 rupiah untuk tiket masuk, dan buka setiap hari dari jam 09.00 hingga 17.00.

Obyek wisata hutan bambu Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Obyek wisata hutan bambu Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Puluhan anak tangga yang meliuk menanti dipijak pengunjung untuk menuju ke restoran Semara Ratih. Turunnya tak usah buru-buru, karena pemandangan rimbunnya pohon-pohon bambu layaknya ditata mirip bonsay raksasa sangat sayang untuk dilewati. Sesampai di anak tangga paling akhir, ada pilihan arah, kiri ke arah sungai dan sumber air pengelukatan, dan kanan langsung menuju restoran. Dan woooow keren, tidak pernah terbayangkan, sebuah arsitektur restoran yang sangat menarik, memperhatikan keseimbangan lingkungan alam tapi tidak menghilangkan estetikanya. Bangunan utama beratap dan tanpa dinding, kecuali bagian dapur, ruang persiapan saji atau order, dan kantor. Beberapa meja-tempat duduk disebar di beberapa titik. Lebih asyiknya lagi, resto tersebut membuat dua platform menjorok sekitar 5 meter dari bibir tebing, seolah-olah melayang di tengah lembah dan menyatu dengan alam. Struktur bangunannya sangat kokoh, tidak goyang-goyang yang membuat harap was-was, dan bisa menampung 4 hingga 6 orang duduk sambil menyantap hidangan. Bila 'pasukannya' banyak, resto juga menyediakan sofa setengah lingkaran, walaupun hanya menjorok sekitar 2 meter dari bibir tebing. Mereka juga menyediakan gedung pertemuan bambu berkapasitas 100 orang, dan saung di dekat area sawah hias.

Taman dari bekas sawah yang tidak produktif di hutan bambu Semara Ratih Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Taman dari bekas sawah yang tidak produktif di hutan bambu Semara Ratih Desa Taro, Gianyar, Bali.
(GATRA/Jongki Handianto)

Resto unik ini menyediakan beberapa menu hidangan makanan-minuman dengan harga yang bersahabat. Tidak ada salahnya mencicipi sajian khas lokal seperti loloh daun terter, bubur bulun baon, atau lempog yang dibuat oleh Wanita Tani Desa Taro Kelod. Gatra pun mencoba merasakan kopi Bali di atas platform yang instagramable itu, tepat pada pukul 08.45, di mana sinar matahari masuk dari celah-celah daun. Tak heran bila Bupati Gianyar sering mampir ke desa ini. “Taro, bisa tampil di masa pandemi ini dengan begitu bagusnya. Menjadi desa percontohan yang dikelola dengan baik, dari mulai pengelolaan sampah, pariwisata, lingkungan, maupun masyarakatnya. Beberapa destinasi unik ada di Taro....ada kunang-kunang, restoran di lembah pohon bambu, semara ratih, dan lainnya. Yang membuat orang Taro, yang menata orang Taro, yang mendapatkan hasil orang Taro sendiri ... saya cukup bangga, “ ucap Bupati Gianyar I Made Mahayastra saat Gatra sowan ke kantornya, (23/08). Dalam kondisi masa pandemi, harus disadari dan dimengerti bila pengusaha belum berani atau menahan diri untuk berinvestasi. Menurut Mahayastra, salah satu cara untuk membantu ekonomi masyarakat pada sektor pariwisata adalah mendorong dan menggalakkan desa wisata.

Restoran Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Restoran Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Obyek wisata yang dibuka pada masa pandemi, Juli 2020, dengan menerapkan prokes pencegahan Covid-19 ketat. Semara Ratih dibangun secara gotong-royong dan dikelola Kelompok Sadar Wisata Desa Taro yang berjumlah 29 orang. Mereka melakukan inovasi dengan menanam bambu petung di lahan persawahan yang tidak berproduksi lagi, serta membangun fasilitas penunjang. Serasa tidak lengkap bila tidak merasakan sejuknya aliran sungai. Apalagi sumber air pengelukatan merupakan pertemuan pancuran dua mata air Dewa Karma atau Semara adalah Dewa Cinta dan Dewi Ratih sebagai Dewi Asmara. Semara Ratih merupakan manifestasi Tuhan dalam Hindu yang memiliki energi cinta dan kasih sayang menyatu dalam keharmonisan. Air pengelukatan dipercaya mampu memberikan kedamaian, kerukunan dalam keluarga, dan membuat pasangan makin lekat. Seiring cangkir kopi yang sudah habis dan menghindari vibrasi cinta selain dari pasangan di rumah, saatnya pindah ke obyek wisata lainnya.

Pancuran Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Pancuran Semara Ratih di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Menonton Kawanan Sinar Terbang

Memang East Lake Peony Garden yang ada di Wuhan, Cina, bisa dibilang pelopor taman kunang-kunang di dunia. Ternyata Bali juga punya satu, namanya The Fire Flies Garden yang lokasinya berada di Jalan Raya Taro Kaja. Membangun taman kunang-kunang tidaklah mudah, membuat tamannya mungkin bisa, tapi belum tentu ada kunang-kunangnya. Serangga yang mempunyai nama ilmiah lampyridae, umumnya hidup di habitat seperti persawahan yang mempuyai kualitas udara tanpa polusi, air yang bersih, dan tumbuhan yang tidak tercermar bahan kimia. Bisa dikatakan, keberadaan kunang-kunang dapat menjadi indikator kalau lingkungan tersebut masih asri.

Obyek wisata The Fire Flies Garden di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Obyek wisata The Fire Flies Garden di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Obyek unik yang satu ini buka setiap hari dari jam 09.00 hingga 10 malam. Tiket masuknya 25.000 rupiah per-orang untuk wisatawan lokal, termasuk kudapan ringan dan minuman kopi atau teh. Ada juga tiket yang harga 100.000 rupiah, pengunjung akan mendapat kudapan, kopi atau teh, dan makan malam. Tetapi manajemen mengeluarkan harga 'masa pandemi', yaitu Rp. 5.000 hanya untuk masuk ke kawasan taman, tetapi kalau melihat kunang-kunang di taman khusus maka akan dikenakan biaya 15.000 rupiah. Untuk wisatawan asing biasanya datang untuk menikmati alam, melihat kunang-kunang dan diteruskan dengan makan malam di Pendopo Resto. Pihak pengelola cukup sigap melihat pasar, mereka pun menjual paket dari mulai menikmati keindahan alam, melihat kunang-kunang di taman konservasi hingga makan malam, dimulai dari harga 500.000 rupiah, tapi itu juga tergantung menunya. Selain itu mereka juga mengkombinasikan paket melihat kunang-kunang dengan kegiatan lainnya seperti treckking, bersepeda, dan kelas memasak. Sekedar saran, waktu kunjung ke obyek ini yang paling pas dimulai dari jam 16.00, jangan lupa untuk memesan kopi Bali dan singkong goreng serta saus gula aren. “Pak Menteri Kemenparekraf Sandiaga Uno sudah mampir ke sini bulan Januari kemarin, beliau juga suka dengan singkong goreng saus aren. Kehadirannya merupakan sebuah kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi kami,” kata I Wayan Gede Ardika dari Kelompok Sadar Wisata.

I Nyoman Sudaryana alias Komang Petak pemilik The Fire Flies Garden di taman konservasi kunang-kunang, Desa Taro, Gianyar, Bali.(GATRA/Jongki Handianto)
I Nyoman Sudaryana alias Komang Petak pemilik The Fire Flies Garden di taman konservasi kunang-kunang,
Desa Taro, Gianyar, Bali.(GATRA/Jongki Handianto)

Sebelum menjadi The Fire Flies Garden, kawasan ini merupakan lahan persawahan biasa. Tapi memang proses pengolahannya hanya menggunakan pupuk kompos atau organik yang telah dilakukan selama lebih dari lima tahun, bebas zat kimia. “Ide itu lahir sewaktu saudara sering membawa tamu ke sini untuk melihat kunang-kunang .... akhirnya diwujudkan. Dan proses membangun taman kunang-kunang dimulai pada Januari 2020, bersama teman, saudara dan keluarga ....bisa selesai seperti ini dan sekaligus dibuka pada 8 Agustus 2020,” kata sang pemilik I Nyoman Sudaryana. Awalnya, Sudaryana hanya seorang pengusaha sanggah, pembuat tempat batu untuk ibadah, kemudian mempunyai pemikiran bahwa keluarganya harus makan beras yang sehat. Ia pun merubah cara menggarap sawah seluas 1,5 hektar dan 1 hektar ladang dengan konsep organik. Selain mendapat hasil bumi yang sehat, area persawahan juga tidak tercemar bahan kimia. Lingkungan yang semakin baik membuat populasi kunang-kunang bertambah banyak setiap tahunnya.

Menurut Komang Petak, nama panggilan akrab Sudaryana, usaha yang sudah ada cukup untuk menghidupi karyawannya yang terdiri dari 8 orang bekerja di kebun, dan 6 orang di restoran, walaupun dalam masa pandemi. “ Yang digaji bulanan ada 10 orang, dan tidak ada pengurangan pekerja selama pandemi,” ujar Komang Petak. Selain sanggah, sawah-ladang, dan taman kunang-kunang, ia juga mempunyai usaha homestay yang terletak di belakang rumahnya, yang ternyata hanya berjarak sekitar 150 meter dari Taman. Pengelolaan The Fire Flies Garden dijalankan secara kekeluargaan, Komang dibantu sang isteri, saudara, dan I Wayan Wardika sebagai Pokdarwis Desa Wisata Taro. “Berharap, usaha saya makin berkembang sehingga dapat membantu orang dengan membuka lapangan pekerjaan,” kata pengusaha kelahiran 27 September 1979.

Kawanan serangga kunang-kunang pada sehelai daun di Taman Konservasi The Fire Flies Garden Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Kawanan serangga kunang-kunang pada sehelai daun di Taman Konservasi The Fire Flies Garden Desa Taro,
Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Selain menyaksikan kunang-kunang di persawahan, pengunjung dapat 'menonton' di taman khusus tempat melakukan konservasi. Mirip sangkar berukuran 6 x 30 meter dengan tinggi sekitar 6 meter, taman tersebut dikelilingi jaring dengan diameter kecil. Kalau ingin memotret kunang-kunang, sebisa mungkin sudah ada di dalam taman tersebut sebelum gelap. Serangga lampyridae suka bergerombol di sehelai daun, atau pada batang. Persiapkan kamera dan tripod di lokasi tempat kawanan itu hinggap. Dan jangan lupa untuk mengatur ISO kamera, matikan lampu flash atau sumber cahaya lainnya, karena serangga itu akan redup bila ada cahaya. Ketika mulai gelap, secara perlahan, kunang-kunang akan mulai mengeluarkan sinarnya dalam posisi masih hinggap, dan itulah kesempatan menjepretnya. Sejuknya udara di ketinggian 600 – 700 mdpl membuat badan kangen sama bantal-kasur, jarum jam telah menujuk angka 9 malam, saatnya pulang ke homestay karena esok masih ada petualangan lainnya.

Obyek wisata Air Terjun Yeh Pikat di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Obyek wisata Air Terjun Yeh Pikat di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Petualangan Ala Indiana Jones

Berwisata sambil basah-basahan itu ok, kalau ditambah petualangan jadi super ok. Tema plesir pada hari ketiga adalah air dan stamina, karena misi kali ini river trekking atau menyusuri sungai menuju air terjun Yeh Pikat. Petualangan dimulai dari markas operator Yeh Pikat River Trekking di Banjar Taro Kaja, dan kebetulan markas itu adalah rumah Perbekel Warka. Pihak operator membagi trip menjadi dua sesi, pagi dan siang. Setiap peserta dikenakan biaya 400.000 rupiah, dan 500.000 rupiah dengan makan siang. Hal yang harus diperhatikan agar lebih nyaman dalam kegiatan ini adalah membawa pakaian ganti, memakai alas kaki yang ramah air dan tidak licin, dan bawa bekal minum-snack secukupnya. Peralatan elektronik dan barang pribadi lebih baik dimasukkan ke dalam dry bag, opsi kantong plastik juga bisa.

Gua bekas tambang batu di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Gua bekas tambang batu di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Petualangan dimulai dari belakang rumah perbekel tepat pukul 12.30, menuruni lembah dengan jalan setapak yang telah dibuat seperti anak tangga. Tidak perlu turun tergesa-gesa, apalagi yang mempunyai masalah dengan lutut. Lintasan telah dikondisikan ramah dengan turis, ada pembatas terbuat dari kayu-bambu dan tali pada kiri atau kanan jalur setapak sebagai pegangan. Setengah perjalanan menuruni lembah, ada 3 gua buatan yang tidak terlalu dalam, konon dulu dipakai untuk mengambil batu sanggah. Perjalanan dilanjutkan hingga berada di tepi sungai, kadang harus menyeberang, kadang hanya berjalan di tepinya. Perlu kecermatan dan kehati-hatian saat menapaki batu-batu tersebut, jangan yang berlumut karena sangat licin. Selang beberapa waktu, sinar matahari mulai agak redup saat di dasar sungai, pemandangannya mirip dengan Green Canyon Pangandaran, tapi ini versi kecilnya. Akses jalan mulai berubah agak menantang, wisatawan harus berjalan melewati batang-batang bambu yang telah diikat dan digantung pada dinding ngarai. Kedua tangan harus memegang tali, badan agak menempel pada dinding, dan posisi telapak kaki harus melintang saat berjalan ikatan-ikatan bambu, pokoknya mirip adegan film Indiana Jones. Sesekali berhenti untuk menarik nafas sejenak, sambil mendengarkan cerita dan penjelasan dari pemandu yang jago bahasa Inggris.

Pura tempat Upacara Melukat dan Upacara Pitra Yadnya di tepi sungai dekat air terjun Yeh Pikat, Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Pura tempat Upacara Melukat dan Upacara Pitra Yadnya di tepi sungai dekat air terjun Yeh Pikat,
Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Sungai Yeh Pikat merupakan pertemuan antara dua aliran sungai atau dalam bahasa Bali disebut campuhan. Nama Yeh Pikat sendiri berasal dari kata Yeh adalah air, dan Pikat artinya menarik. Masyarakat Taro menggunakan sumber mata air ini untuk keperluan sehari-hari maupun kegiatan keagamaan, seperti membersihkan pikiran dan jiwa secara spirirtual yang disebut Upacara Melukat. Pengunjung akan menemukan pura di tepi dasar sungai, sebagai lokasi tempat Upacara Pitra Yadnya sebagai salah satu proses Ngaben atau sering juga disebut Memanah. “orang yang akan di-ngaben harus dikenakan atau dimandikan air Yeh Pikat agar roh mereka mendapat jalan yang baik ke surga,” penjelasan Warka. Beberapa aturan dan arah dijelaskan pemandu, mana yang boleh dilewati dan mana yang dilarang.

Jalur trekking menuju Air Terjun Yeh Pikat di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Jalur trekking menuju Air Terjun Yeh Pikat di Desa Taro, Gianyar, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)

Satu jam lebih tidak terasa, akhirnya air terjun Yeh Pikat hadir di depan mata. Tinggi air terjun sekitar 3 – 4 meter, tetap seperti ngarai, dinding sisi kiri-kanan agak menjorok ke dalam dengan lebar yang bervariasi antara 3 hingga 8 meter. Kedalamannya pun bervariasi, titik terdalam ada dibawah air terjun sekitar 120 cm atau se-perut pria dewasa, kedalaman semakin berkurang saat menjauhi air terjun hingga kisaran mata kaki dan betis. Rasa capek badan segera hilang saat diguyur berkubik-kubik air yang sangat sejuk dan bersih. Menyinggung bersih, Gatra tidak melihat sampah plastik di sepanjang maupun di pinggir sungai. Atraksi wisata alam River Trekking Yeh Pikat dikembangkan bersamaan saat Desa Taro ditetapkan menjadi desa wisata melalui SK Bupati pada 2017. Pengelolaannya dilakukan langsung oleh Perbekel I Wayan Warka sekaligus merangkap Kelian Subak Abian, bersama Kelompok Sadar Wisata.

Bupati Gianyar I Made Mahayastra. (GATRA/Jongki Handianto)
Bupati Gianyar I Made Mahayastra. (GATRA/Jongki Handianto)

Geliat desa wisata mulai terasa ketika 10 ribu wisatawan lokal maupun asing mulai berkunjung pada 2018. Tahun berikutnya, naik lagi menjadi 12 ribu. Bahkan pada 2020, 15 ribu wisatawan domestik mengunjungi Taro sebelum pandemi. Catatan terakhir, hanya sekitar 5 ribu wisatawan dari Januari hingga Juli 2021. Potensi-potensi wisata yang dimiliki Taro tersebar di seluruh desa adat. Sistem pengelolaannya beragam, ada yang menjalin kerjasama dengan BUMDes, investor perorangan, dan ada juga kelompok masyarakat dari desa adat. Beberapa destinasi wisata telah melakukan inovasi dalam memperkenalkan atraksinya secara luas dengan menggunakan media sosial seperti Instagram dan Facebook. “Pariwisata itu bagaimana membuat desa menjadi terkenal, menarik untuk dikunjungi, dan bisa dinikmati hasil oleh masyarakatnya. Mencari jalan yang terbaik agar masyarakat bisa berusaha di wilayahnya sendiri,” kata Bupati Gianyar I Made Mahayastra.

Kepala Desa Taro I Wayan Warka,  Tokoh Desa Adat I Nyoman Tunjung, I Wayan Gede Ardika dari Pokdarwis. (GATRA/Jongki Handianto)
Kepala Desa Taro I Wayan Warka, Tokoh Desa Adat I Nyoman Tunjung, I Wayan Gede Ardika dari Pokdarwis.
(GATRA/Jongki Handianto)

Dengan situasi pandemi Covid-19 yang terkendali dan terus menunjukkan perbaikan, pemerintah berencana akan membuka kembali Bandara Ngurah Rai Bali untuk penerbangan internasional. Dikutip dari siaran pers Kemenko Marves, marves.go.id (4/10), “Kasus konfirmasi nasional turun 98 persen dan kasus konfirmasi Jawa-Bali juga menunjukkan penurunan hingga 98,7 persen dari puncaknya pada 15 juli lalu. Bandara Ngurah Rai, Bali, akan dibuka untuk internasional pada tanggal 14 Oktober 2021,” kata Menko Luhut B. Pandjaitan saat konferensi pers secara virtual tentang PPKM. Namun Luhut menambahkan, kebijakan ini berlaku selama otoritas bandara telah memenuhi ketentuan dan persyaratan mengenai karantina, tes, dan kesiapan satgas. “Kami sudah siap menerima wisatawan, dari mulai akomodasi, prokes, hingga sarana penunjang lainnya. Harapannya, semoga pandemi segera berlalu agar Desa Taro kembali ramai wisatawan,” ungkap I Wayan Warka dengan antusias. Pengalaman mengunjungi desa yang telah ada sejak Caka 381 atau tahun 459 masehi, ternyata memang tidak bisa diselesaikan dalam sehari.


Teks dan Foto: Jongki Handianto