Home Hukum Ini Penyebab Maraknya Kecelakaan Kerja di Kalangan Buruh

Ini Penyebab Maraknya Kecelakaan Kerja di Kalangan Buruh

Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB Daman memaparkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab insiden terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sering terjadi di kalangan buruh.

Pertama, Rudi menilai hingga saat ini masih banyak perusahaan yang tidak menjalankan Sistem Manajemen K3 sebagai sistem manajemen untuk pengendalian resiko kecelakaan kerja di lingkungan perusahaan.

"Padahal sistem manajemen K3 dirancang untuk menekan tingkat resiko kecelakaan kerja meliputi, penetapan kebijakan K3, perencanaan K3, pelaksanaan dari rencana K3, pemantauan dan evaluasi penerapan K3, peningkatan dan peningkatan kinerja K3." ujar Rudi kepada Gatra.com, Senin (11/10).

Berikutnya, jelas Rudi, sistem dan beban kerja yang sering kali tidak menyesuaikan kemampuan buruh. Menurutnya, buruh seringkali diberikan beban pekerjaan di luar batas kemampuannya, target produksi yang tinggi dan jam kerja yang panjang seperti kerja lembur dan long shift kerja.

"Sistem kerja yang mengharuskan buruh berdiri atau duduk sepanjang hari, juga memberi dampak pada kesehatan buruh dalam waktu jangka panjang." jelasnya.

Ketiga, mesin produksi dan alat kerja yang digunakan oleh pekerja/buruh. Banyak perusahaan masih menggunakan mesin produksi yang sudah tertinggal secara teknologi atau bahkan sudah seharusnya diganti khususnya di industri menengah ke bawah.

"Di industri-industri milik asing seperti Eropa dan Jepang yang sudah menggunakan teknologi maju itu pun masih sering terjadi kecelakaan K3, apalagi industri-industri kecil yang mayoritas menggunakan mesin semi-manual." lanjutnya.

Lanjut, Rudi turut menyebut banyak perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi buruh yang sesuai dengan sifat pekerjaan yang dilakukan.

"Kalaupun ada APD seperti masker, ear plug, sarung tangan, sepatu yang diberikan tidak sesuai dengan standar. Kualitasnya buruk. Misalnya ear plug yang banyak digunakan oleh para buruh yang bekerja dibagian kerja yang tingkat kebisingan tinggi, tidak dapat melindungi buruh dari resiko kebisingan yang mengakibatkan rusaknya gendang telinga, atau masker dan sarung tangan yang digunakan oleh buruh yang dalam sifat kerjanya harus bersentuhan dengan bahan material yang menggunakan bahan kimia."

Akibatnya, sambung Rudi, banyak buruh yang keseharian-hariannya bekerja dengan di ruangan atau bersentuhan dengan bahan kimia masih tetap mudah terpapar. Banyak buruh yang mengalami sakit alergi, gatal-gatal, batuk-batuk yang menahun, dan lainnya, yang dalam jangka panjang juga berakibat pada kesehatan dan fungsi reproduksi.

Selain itu, Rudi turut menyinggung terkait sumber daya manusia di mana banyak buruh tidak mendapatkan edukasi tentang sistem K3.

“Banyak buruh tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang penggunaan alat kerja dan kandungan material yang digunakan, yang akan memberi potensi terhadap resiko kecelakaan kerja atau pada kesehatan para pekerja/buruh dalam jangka panjang.” jelasnya.

Selain itu, Rudi menilai aturan hukum yang berlaku saat ini tidak cukup komprehensif dan mampu merespon problematika perlindungan K3 di Indonesia. Lemahnya motivasi dan inisiatif aparat penegakan hukum, termasuk pengawasan pelaksanaan perlindungan K3 di tempat kerja.

“Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang abai terhadap penerapan K3. Pengawasan baru akan dilakukan ketika terjadi ada kecelakaan kerja yang dilaporkan oleh serikat pekerja/buruh, dan penegakan hukum yang diberikan umumnya hanya bersifat teguran dan administrasi saja.” pungkasnya.