Home Politik Asfinawati: Penjabat dan Sipil Tak Setara, Penjabat Punya Wewenang

Asfinawati: Penjabat dan Sipil Tak Setara, Penjabat Punya Wewenang

Jakarta, Gatra.com – Ketua YLBHI, Asfinawati, membeberkan bahwa penjabat publik dan masyarakat sipil biasa tak setara dalam kehidupan bernegara sehari-hari walaupun dikatakan bahwa keduanya setara di mata hukum.

Menurut Asfinawati, ungkapan “Kami hanya manusia biasa” yang keluar dari mulut penjabat tidak relevan dengan realita. Pasalnya, kenyataanya, penjabat publik punya wewenang politik yang tak dipunyai warga biasa.

“Ketika pejabat publik dikritik, maka narasi dari pejabat publik dan kuasa hukumnya mengatakan, ‘Kami ini manusia biasa,’ begitu ya. Jadi, seolah-olah tidak ada lagi atribut pejabat itu,” ujar Asfinawati dalam sebuah webinar yang digelar pada Senin, (18/10/2021).

Menurut Asfinawati, penjabat publik punya atribut, otoritas, dan wewenang yang lebih berdaya dibanding warga biasa. Alhasil, penjabat publik ketika menduduki posisi penting di hadapan publik diberikan kewajiban dan tanggung jawab lebih banyak dari warga biasa.

Itulah kenapa, menurut Asfinawati, penjabat publik tak etis untuk menyatakan bahwa mereka adalah manusia biasa. “Pejabat publik itu banyak sekali memiliki kewenangan, mulai dari mengatur hingga membuat anggaran,” ujarnya.

Asfinawati menyinggung soal kisruh legal antara antara Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, beserta Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Perkara ini bermula dari sebuah video di YouTube di mana Haris dan Fatia berperan sebagai pembicaranya. Video tersebut bertajuk “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya” di kanal YouTube Haris.

Dalam video tersebut dipaparkan bahwa terdapat sebuah temuan yang didapatkan oleh gabungan kelompok masyarakat sipil terkait keterlibatan petinggi atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

“Jangan lupa dalam kasus ini, menarik sekali, juru bicara Menko [Luhut] ini ikut berkomentar tentang kasus ini. Jadi, ini menegaskan bahwa pada akhirnya ini persoalan pejabat publik, bukan individu, karena kalau individu kenapa juru bicara Menko yang ikut-ikutan menjawab dan menanggapi,” papar Asfinawati.

“Sebaliknya, ketika rakyat disomasi pejabat publik, tiba-tiba rakyat diasumsikan betul-betul punya persamaan di hadapan hukum. Dia jadi setara dengan pejabat. Tapi ketika tidak sedang disomasi, jelas posisinya tidak setara,” ujar Asfinawati.


 

151