Home Politik Papua Berstatus Wilayah Operasi Militer? Ini Kata Peneliti

Papua Berstatus Wilayah Operasi Militer? Ini Kata Peneliti

Jakarta, Gatra.com – Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua dengan aparat keamanan Indonesia masih kerap terjadi dan tak jarang konflik tersebut memakan korban, baik itu anggota TNI-Polri, tentara Papua, bahkan warga sipil.

Walau begitu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengungkapkan bahwa wilayah Papua pada saat ini tak berstatus wilayah operasi militer, melainkan wilayah operasi penegakan hukum.

“Memang kalau secara legal, Papua sekarang itu bukan daerah operasi mliliter, tetapi operasi penegakan hukum. Itu yang dihasilkan oleh Menkopolhukam [Mahfud MD]. Papua adalah daerah dengan operasi penegakan hukum. Dengan cara mengirimkan [pasukan militer] banyak sekali, ya,” ujar Cahyo dalam sebuah webinar yang digelar oleh LP3ES pada Senin, (19/10/2021).

Pada Mei 2021 lalu, Mahfud MD sempat mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis kebijakan pemerintah untuk Papua. Yang pertama adalah kebijakan dengan pendekatan kesejahteraan, kedamaian, tanpa kekerasan, dan tanpa senjata. Sementara yang kedua adalah pendekatan penegakan hukum dan keamanan.

Mengenai pendekatan yang disebut kedua, Mahfud MD mengatakan bahwa pendekatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemburuan para teroris. “Bukan organisasi Papua, tapi orang-orang yang melakukan teror. By name, ada nama-nama, bukan sembarang orang Papua,” katanya seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkopolhukam.

Seperti diketahui, pada April 2021 lalu, pemerintah melalui Mahfud MD telah secara resmi menyematkan label teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Dalam pelabelan tersebut, ia merujuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Papua saat ini berstatus wilayah penegakan hukum. Akan tetapi, Cahyo bertanya-tanya. “Mengapa dalam operasi penegakan hukum dalam KKB, itu tidak pernah ada yang diajukan ke pengadilan, ya?” ujarnya.

“Yang ada langsung ketemu tembak. Bentuknya seperti penyisiran, pemblokiran suatu kampung, penahanan sehingga itu pada praktiknya menyerupai sebuah operasi militer, tapi dengan bahasa operasi penegakan hukum,” imbuh Cahyo.

Selain itu, Cahyo juga menyimpan beberapa catatan lainnya. Menurutnya, kebijakan penegakan hukum saat ini tak jelas indikator keberhasilannya dan berapa anggaran negara yang dihabiskan.

“Kapan suatu operasi itu dikatakan sukses? Jumlahnya kalau perlu ada kuantitatifnya. Jadi, kita bisa mengukur efektivitas. Ini habis sekian miliar. Misalnya menembak 10 OPM menghabiskan sekian miliar. Itu kan kita bisa melihat secara ekonomi ini layak atau tidak,” ujar Cahyo.

Karena indikator keberhasilan tersebut dinilai tak jelas, Cahyo juga menduga ketidakjelasan tersebut akan berimbas pada lamanya periode penyematan status wilayah penegakan hukum tersebut.

“Sampai kapan operasi ini akan dilakukan? Kapan batas akhirnya? Apakah operasi itu akan diperpanjang terus?” tanya Cahyo.

1827