Home Politik Ambang Batas Parlemen Belum Tentu Redam Aksi Korupsi Politikus

Ambang Batas Parlemen Belum Tentu Redam Aksi Korupsi Politikus

Pekanbaru, Gatra.com - Pegiat anti korupsi, Dadang Trisasongko, menyebut wacana kenaikan ambang batas parlemen belum tentu mengurangi korupsi politik pasca berakhirnya pemilu 2024.

Sebab, korupsi politik erat kaitannya dengan kebutuhan biaya politik maupun komposisi elit politik yang dinaungi partai politik.

"Nah,apakah kenaikan ambang batas parlemen mengurangi korupsi politik seiring berkurangnya partai politik, jawabannya belum tentu. Sebab ada variabel biaya politik yang akan mempengaruhi dan realita bahwa kelompok elit politik Indonesia yang bisa dikatakan tidak banyak berubah," ungkap Dadang dalam diskusi yang digelar Jaringan kerja penyelamat hutan Riau (Jikalahari) di Pekanbaru, Jum'at (5/11).

Diketahui, wacana kenaikan ambang batas parlemen kembali mengemuka jelang bergulirnya Pemilu 2024. Partai lawas semacam PDI Perjuangan dan Golkar setuju ambang batas parlemen dikatrol dari angka 4 persen. Keriuhan juga terjadi pada ambang batas pencalonan presiden yang ditetapkan 20 persen.

Menurut Dadang, kenaikan ambang batas parlemen malah membuat politik di Indonesia kian memberi ruang kepada kelompok elit politik yang tak banyak berubah.

"Jadi, anggota parlemennya bisa saja berganti, jumlah partainya bisa berkurang, tapi elit politiknya mungkin tidak berganti lantaran disokong oleh modal yang kuat. Namun kemudian dihadapkan dengan kondisi pengembalian modal. Situasi ini yang membuka ruang bagi kelompok oligarki untuk beli undang-undang," urai Dadang yang lama aktif di Transparansi Internasional dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Adapun campur tangan oligarki dalam regulasi negara diduga terjadi pada Undang-Undang Cipta kerja tahun 2020. Regulasi yang bertujuan mempermudah arus investasi tersebut disinyalir ditunggangi kepentingan bisnis oligariki. 

Hal serupa terindikasi terjadi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Belakangan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap UU Minerba.

Lebih lanjut, Dadang menuturkan selain ambang batas parlemen yang tak banyak mengurangi minat korupsi politik. Korupsi jenis tersebut turut dipengaruhi oleh respon politisi terhadap siklus usaha yang diketahui. Ia mencontohkan kasus yang menjerat Bupati Kabupaten Kuansing, Andi Putra, dalam dugaan suap perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari (AA).

"Ini terjadi lantaran ada ruang bagi kepala daerah memanfaatkan momen perpanjangan izin usaha. HGU itu kan ada siklusnya, ketika izin itu mau habis tentu ada proses perpanjangan. Untuk mencegah korupsi jenis ini, publik harus mengetahui status izin HGU di Indonesia," paparnya.

Dalam kesempatan yang sama Kordinator Jikalahari, Made Ali menyebut, saat ini ada trend pengungkapan korupsi oleh KPK di sektor pertanahan (Agraria). Made menilai trend tersebut bakal membantu pegiat lingkungan hidup mengungkap praktek-praktek bisnis tak ramah lingkungan.

Made menjelaskan, pada 2008 KPK mulai menyasar masalah perizinan di sektor kehutanan, lalu berlanjut ke ranah perizinan perkebunan di tahun 2014, kemudian mulai mengendus persoalan di sektor pertanahan.

"Jadi yang disorot bukan lagi kepala daerah, tapi juga dugaan keterlibatan BPN, potensi korupsinya sangat tinggi."

138