Home Nasional Pemerintah Atasi Masalah Anak Hasil Perkawinan Campuran Pilih Kewarganegaraan

Pemerintah Atasi Masalah Anak Hasil Perkawinan Campuran Pilih Kewarganegaraan

Jakarta, Gatra.com – Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Cahyo R Muzhar, mengungkapkan, masih terdapat beberapa persoalan dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Menurut Cahyo, dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (9/11), mengungkapkan, sejumlah persoalan implementasi UU tersebut karena dinamika futuristik kewargangeraan yang berlangsung cepat.

“Salah satunya tentang anak hasil perkawinan campuran yang biasa disebut anak berkewarganegaraan ganda,” katanya.

Cahyo ketika menjadi pembicara kunci dalam seminar “Rekonstruksi Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia untuk Menjamin Perlindungan dan Kepastian Hukum Warga Negara” serta me-Launching Aplikasi Pewarganegaraan, menjelaskan, hal tersebut menjadi persoalan karena dalam UU Kewarganegaraan hanya dikenal prinsip kewarganegaraan tunggal dan dwi kewarganegaraan terbatas atau ganda terbatas.

Artinya, lanjut Cahyo, seorang anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda hingga umur 18 tahun dan setelah itu paling lambat umur 21 tahun, harus menentukan sendiri menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan dalam rentang usia yang ditentukan dalam UU, yakni18–21 tahun.

“Pada pelaksanaannya, banyak yang telat memilih kewarganegaraan,” ungkapnya.

Sedangkan untuk anak-anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2006, harus didaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM paling lambat 4 tahun setelah UU Kewarganegaraan diundangkan.

Menurut Cahyo, pendaftaran tersebut untuk memperoleh Surat Keputusan anak berkewarganegaraan ganda sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Nomor 12 Tahun 2006.

Dalam pelaksanaanya, ada juga tidak mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam rentang waktu yang sudah ditentukan undang-undang.

“Akibatnya, anak hasil perkawinan campuran terancam menjadi warga negara asing,” katanya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kemenkum HAM tengah menyelesaikannya melalui proses perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia yang merupakan turunan dari UU Kewarganegaraan.

“Salah satu materi perubahannya adalah mengenai tata cara pewarganegaraan bagi anak-anak yang tidak mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan anak yang telah mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 namun tidak memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia sampai batas waktu yang ditentukan berakhir,” katanya.

Sementara itu, Direktur Tata Negara, Baroto, menyampaikan bahwa masih banyak permasalahan tentang kewarganegaraan, terutama dalam hal implementasi UU 12 Tahun 2006 yang menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaikannya.

“Kita menyadari bersama bahwa memang masih banyak permasalahan kewarganegaraan yang dihadapi, sehingga penting bagi kita untuk melakukan upaya dan kerja keras bagi kita semua terutama dalam hal integrasi data dan sinergitas dengan instansi terkait,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Dirjen AHU juga me-launching pengembangan aplikasi pewarganegaraan yang bernama Simponik (Sistem Aplikasi Pewarganegaraan Elektronik) yang dapat diakses melalui laman resmi Ditjen AHU di www.ahu.go.id. Aplikasi ini dikhususkan untuk Kantor Wilayah Kemenkum dan HAM dalam hal pengiriman berkas permohonan pewarganegaraan berdasarkan Pasal 8 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

“Pengembangan aplikasi ini merupakan implementasi dari Peraturan Meteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyampaian Permohonan Pewarganegaraan dan Penyampaian Berita Acara Sumpah Pemberian Kewarganegaraan Republik Indonesia,” ujar Cahyo.

Baroto menambahkan bahwa Simponik ini dapat mempermudah pelaksanaan penyampaian dokumen persyaratan pewarganegaraan dan berita acara sumpah oleh kantor wilayah yang awalnya dilakukan secara manual kemudian menjadi elektronik.

“Diharapkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung rangkaian pelayanan pada Ditjen AHU akan bermanfaat dalam meningkatkan kinerja agar lebih efektif dan efisien,” katanya.

379