Home Ekonomi Ekonomi Berdikari, Pahlawan Masa Kini, Kedaulatan Ekonomi

Ekonomi Berdikari, Pahlawan Masa Kini, Kedaulatan Ekonomi

Jakarta, Gatra.com - Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menggelar dialog publik mengusung tema “Kesinambungan Fiskal dalam Mencapai Kemandirian Ekonomi” di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta pada Rabu (10/11). Bertepatan dengan Hari Pahlawan, kegiatan diskusi juga menyoal sub tema “Pahlawan Masa Kini dalam Mencapai Kedaulatan Ekonomi Berkelanjutan”.

Kegiatan turut dihadiri oleh Ketua Yayasan Bung Karno (YBK) Guruh Sukarnoputra. Dalam sambutannya, Guruh menyampaikan, Presiden Pertama RI Sukarno menggagas ekonomi berdikari, sebagai reaksi atas praktik ekonomi kolonial yang eksploitatif. Menyusul gagalnya penerapan sistem parlementer yang liberal pada era 1950-1959, maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Sukarno yang salah satu isinya kembali ke UUD 1945 sebagai upaya melaksanakan cita-cita proklamasi.

“Pada hakikatnya ekonomi berdikari ini dilaksanakan melalui teori yang dinamakan ‘Trisakti’—berdaulat dalam bidang politik; berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan,” kata Guruh.

Ia mengatakan, ketika pemerintahan Sukarno berganti ke pemerintahan Suharto, sistem ekonomi bergeser ke ekonomi liberal. Di mana pencapaian ekonomi pembangunan masa itu terlihat hebat namun semu. Karena esensinya tidak menyentuh pemerataan untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat melainkan hanya sebagian pengusaha dengan konsesi kemudahannya berkolaborasi dengan dana-dana luar negeri.

Guruh mengatakan, target ekonomi Indonesia sejati bukanlah pertumbuhan ekonomi semu melainkan pada pemerataan ekonomi itu sendiri. Paham ini berbeda dengan sistem liberalisme yang hari ini dikenal dengan neoliberalisme pasar bebasnya. Mengutip Stiglitz, era globalisasi mengakibatkan kesenjangan, pengangguran, kemiskinan sampai pada kerusakan alam dan lingkungan hidup.

Di kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Profesor Imam Mukhlis mengatakan, untuk mencapai kemandirian ekonomi, peran elemen bangsa lintas sektor sangat diperlukan. Kemandirian ekonomi meneguhkan komitmen membangun perekonomian bangsa dengan semangat nasionalisme. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah harus presisi dan tepat sasaran. Agar tepat sasaran, seharusnya kebijakan yang dibuat adalah berbasis riset dan bukti.

“Hasil penelitian seharusnya menjadi acuan dasar pemerintah untuk pembuatan kebijakan yang tepat sasaran. Acuan dasar itu meliputi pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, dan lain-lain,” kata Imam.

Imam yang juga peneliti senior di IEF Research Institute ini menjelaskan, kanal peran serta peneliti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan pun telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan juga harus melibatkan peneliti.

Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, pada era tirani, pahlawan adalah mereka yang mengorbankan jiwa raganya untuk memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Namun, pada masa kini, pahlawan adalah mereka yang mengisi kemerdekaan melalui kontribusi nyata dalam membangun negeri demi tegaknya eksistensi dan kedaulatan NKRI di segala bidang, termasuk kedaulatan ekonomi.

Ariawan mengatakan, dalam kondisi ideal, postur APBN dibiayai dari penerimaan pajak dan penghasilan negara, termasuk dari devisa. Saat ini peran pajak terhadap APBN masih lebih dari 80% dari total pendapatan negara. Ditambah lagi, kondisi keuangan negara sedang krisis di tengah penanganan Covid-19. Hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp6.625,43 triliun, setara dengan 40,85% terhadap PDB.

Teranyar, pemerintah telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu cakupan di dalamnya yakni Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Voluntary Disclosure Program. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

“Kesediaan mengikuti program pemerintah ini pun sudah merupakan sikap kepahlawanan. Selain menjadi kontributor nyata dalam pembangunan, mengikuti PPS juga menunjukkan adanya nilai kejujuran dan jiwa besar atas kewajiban kita sebagai masyarakat Indonesia,” kata Ariawan.

Ariawan pun menyarankan agar masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat untuk mengikuti PPS. Sebab belum tentu ada kesempatan serupa lagi. Apalagi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerapkan skema automatic exchange of information (AEoI),) telah bertukar informasi dengan puluhan negara/yurisdiksi pada 2020. Hal ini mempersempit ruang bagi masyarakat untuk melakukan penghindaran pajak.

Sementara itu, peneliti senior dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Timbul Hamonangan Simanjuntak menyampaikan, kemandirian ekonomi tidak terlepas dari kesinambungan fiskal yang sehat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan modal pembangunan dan terjaminnya penyediaan barang dan jasa publik secara berkesinambungan. Kemandirian ekonomi juga akan menjamin pembiayaan kehidupan masa depan generasi selanjutnya tanpa terbebani beban utang berkepanjangan.

“Tanpa kesinambungan fiskal, tentunya modal pembangunan akan tergantung pada investasi asing. Tidak berarti investasi asing tidak penting, ini diperlukan manakala terjadi defisit yang bersifat sementara. Dalam hal defisit menjadi sebuah kebijakan, maka perlu strategi jalan keluar agar terhindar dari jebakan utang (debt trap),” ujar Hamonangan.

2101