Home Ekonomi Cerita Sri Mulyani soal Jatuh Bangun Keuangan RI selama Pandemi Covid-19

Cerita Sri Mulyani soal Jatuh Bangun Keuangan RI selama Pandemi Covid-19

Jakarta, Gatra.com – Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menghadiri agenda Konferensi Tahunan Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia yang digelar secara daring pada Selasa, (23/11/2021). Konferensi tahunan kali ini bertema “Recovery and Resilience: Pendanaan Inklusif untuk Pencapaian SDGs 2030.”

Dalam kesempatan tersebut, Sri menceritakan jatuh bangun kondisi keuangan Indonesia selama pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini. Ia bersyukur Indonesia merespons wabah tersebut dengan cara yang sistematis.

Seperti diketahui, ketika pandemi melanda Tanah Air pertama kali, Presiden Jokowi langsung mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Dalam hal ini, UU tersebut menempatkan instrumen keuangan negara APBN menjadi instrumen yang berperan penting dalam menghadapi pandemi Covid-19. Salah satu terobosannya adalah membolehkan defisit di atas 3% dari PDB selama tiga tahun dalam situasi menghadapi pandemi dan dampak ekonomi sosial yang mengiringinya.

“Melalui UU ini kemudian diluncurkanlah selain ApBN di masa pandemi juga program PC-PEN. Kebijakan pemerintah yang sangat luar biasa ini tentu berimplikasi terhadap APBN karena Covid selain menyebabkan perekonomian mengalami kontraksi, tentu juga berakibat pada penerimaan negara yang menurun secara cukup tajam, di atas 15% di tahun lalu,” tutur Sri.

“Di sisi lain di bidang kesehatan untuk menjaga dan melindungi sosial dan memulihkan ekonomi meningkat sangat signifikan. Tahun 2020 kita kemudian mengalami defisit APBN 6,1%,” imbuh Menkeu.

Kemudian, menginjak tahun baru 2021, sempat muncul secercah harapan bahwa Covid-19 akan segera lenyap. Hal tersebut diharapkan berjalan seiring dengan pemulihan ekonomi. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Covid-19 mutasi varian delta yang ganas menghantam RI lagi.

“Hal ini menyebabkan kita kembali harus melakukan penyesuaian-penyesuaian atau sering disebut refocusing di dalam APBN kita yang tujuannya adalah merespons suatu ancaman yang nyata di bidang kesehatan,” kata Sri.

Denagn demikian, pemerintah mau tak mau harus merogoh kocek untuk belanja alat kesehatan. Tak hanya untuk vaksin, tetapi juga alat-alat kesehatan lain untuk kepentingan 3T (testing, tracing, treatment). Selain itu, pemerintah juga harus membayar klaim pasien yang melonjak signifikan.

“Belajar dari Covid ini di mana ancaman dan shock atau dinamika itu bisa terjadi setiap saat yang bisa mempengaruhi ekonomi, sosial, dan keuangan, maka kita juga harus betul-betul harus menyiapkan instrumen APBN sebagai sumber pendanaan yang penting dan kebijakan fiscal yang harus mampu merespons tantangan yang sangat dinamis,” pesan Sri.

“Kadang-kadnag tidak terencana, namun akibatnya sangat besar dan fatal, seperti Covid-19 atau juga tantangan lain yang sangat nyata dan bisa berakibat sangat fatal seperti climate change,” tandas Sri.


 

232