Home Sumbagsel Buruh Sumsel Desak Gubernur Deru Batalkan UMP 2022

Buruh Sumsel Desak Gubernur Deru Batalkan UMP 2022

Palembang, Gatra.com - Ratusan buruh yang tergabung dari berbagai elemen serikat pekerja di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menggeruduk Kantor Gubernur Sumsel, Selasa (30/11). Kedatangan mereka mendesak gubernur provinsi setempat, Herman Deru untuk membatalkan Surat Keputusan (SK) Nomor 746/kpts/Disnakertrans/2021 tentang Upah Provinsi (UMP) yang tak naik di 2022 mendatang.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel, Abdullah Anang, mengatakan seharusnya untuk upah di wilayahnya itu ada kenaikan tujuh sampai sepuluh persen. Sementara dasar tak naiknya UMP tahun depan karena Pemerintah mengacu pada Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan jika UU itu cacat secara hukum. Dengan begitu aturan yang telah diputus menggunakan UU itu dianggap tidak sah secara konstitusional.

“Bahwasanya Undang-Undang Omnibuslaw Inkonstitusional. Jadi, Pemerintah harus menangguhkan keputusan yang ada. Ya, termasuk mengenai upah yantelah diambil,” ujarnya saat berunjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel.

Karena itu, para buruh di Bumi Sriwijaya ini juga mendesak Gubernur Sumsel untuk membatalkan SK soal UMP tahun depan. Bahkan, mereka juga mendesak gubernur tak mengesahkan Upah Minimum Kota (UMK). Seharusnya memberikan subsidi untuk pekerja atau buruh formal maupun informal sebesar Rp300 ribu setiap bulannya.

“UMP tak naik. Cuma Palembang UMK yang naik dari semua daerah. Kenaikannya juga cuma sekitar Rp19.000,” katanya.

Sebelumnya juga, pemerintah provinsi setempat sudah memutuskan UMP 2022 yang tak mengalami kenaikan karena mengacu pada UU Ciptaker tersebut. Karena itu, semua buruh sangat berharap Pemprov Sumsel bisa menganulir putusan terkait upah karena itu sangat berdampak kepada masyarakat.

Dikatakannya, untuk upah minimum kabupaten dan kota di Sumsel pun hari ini terakhir ditentukan. Kendati begitu, kepala daerah dapat untuk turut andil. “Kepala daerah punya andil menentukan. Jadi, itu (upah) tak boleh mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021,” ujarnya.

Mereka juga berharap dengan diputuskan Undang-Undang Omnibuslaw Ciptaker Inkonstitusional maka proses pengupahan dapat kembali ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dinilai memiliki penilaian lebih objektif. Dimana, pada UU sebelumnya proses kenaikan upah dinilai dari indikator Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sedangkan di UU baru ini Pemerintah tak lagi memasukan unsur KHL itu guna kenaikan upah.

“Artinya, kebutuhan hidup layak ini merupakan hal yang sangat tepat. Apalagi, itu akan disurvei dengan disesuaikan berdasrkan kebutuhan sehari-hari tiap tahunnya,” katanya.

1569