Home Kebencanaan UGM Minta Konsep Mitigasi Merapi Diadaptasi di Semeru

UGM Minta Konsep Mitigasi Merapi Diadaptasi di Semeru

Sleman, Gatra.com - Fakultas Geografi dan Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta konsep mitigasi dan adaptasi masyarakat di wilayah Gunung Merapi diadaptasi di Gunung Semeru. Secanggih apapun teknologi pengamatan aktivitas gunung berapi tidak akan berguna jika masyarakatnya tidak siap.
 
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Geografi UGM Danang Sri Hadmoko kepada Gatra.com seusai konferensi pers tentang meletusnya Gunung Semeru di Auditorium FMIPA UGM, Senin (6/12).
 
"Karakter masyarakat Gunung Merapi yang siap menghadapi letusan belum terbentuk di lingkungan 127 gunung berapi yang diketahui ada di Indonesia. Kesadaran ini bisa kita bentuk dengan benar," katanya.
 
Danang mengatakan letusan gunung berapi tidak bisa dicegah, sehingga berbeda dengan banjir atau longsor. Untuk menghadapi letusan gunung, manusia harus beradaptasi.
 
Berbagai penelitian tentang Gunung Merapi, menurut Danang, menunjukkan ada dua langkah yang wajib diterapkan oleh masyarakat di sekitar gunung berapi, yaitu mitigasi dan adaptasi.
 
"Mitigasi berupa pengawasan pada sungai-sungai yang berhulu di gunung berapi agar saat terjadi banjir lahar tidak berdampak pada kota. Adaptasi, masyarakat harus cepat tanggap. Jika di puncak kondisi mendung, maka memberi kabar ke masyarakat di hilir tentang kondisi terakhir," lanjutnya.
 
Mitigasi dan adaptasi ini menurutnya bisa ditumbuhkan di masyarakat dengan melibatkan mereka dalam gotong royong menjaga alat-alat penelitian. Pemasangan bersama-sama ini penting karena peralatan itu dibutuhkan masyarakat.
 
Menurutnya, kesadaran itu belum banyak tumbuh, sehingga peralatan dipasang tanpa melibatkan warga. Dampaknya, secanggih apapun alat yang dipasang, jika masyarakat tidak siap, maka korban akibat bencana tidak bisa dicegah.
 
"Kita akui belum banyak penelitian yang intens di Gunung Semeru. Ini berbeda dengan Gunung Merapi yang menjadi favorit para ahli. Kita  akan mencari cara bagaimana sumber daya yang kita miliki dialokasikan ke Semeru," kata Danang.
 
Usai letusan Gunung Semeru, Danang menegaskan masih  terdapat potensi bahaya sekunder seperti banjir bandang yang membawa material vulkanik di daerah hulu. Hujan dengan intensitas tinggi membuat terjadinya luncuran material panas ke hilir.
 
"Proses evakuasi perlu dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan pihak-pihak yang memahami kondisi gunung api," ucapnya.
 
Pakar geofisika UGM Wahyudi menerangkan sejak 2012 Gunung Semeru berstatus Level 2 atau waspada. Pada September 2020 mulai teramati aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu-abu setinggi 200-700 meter di puncak Semeru.
 
"Aktivitas serupa berlanjut di Oktober 2020 setinggi 200-1000 meter dan 1 Desember 2020 terjadi awan panas sepanjang 2-11 km ke arah Kobokan di lereng tenggara," jelasnya.
 
Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa erupsi pada 90 hari terakhir sebelum letusan. Rata-rata kegempaan terjadi 50 kali sehari bahkan ada yang 100 kali. Kondisi ini menjadi  tanda terjadinya erupsi yang lebih besar.
 
"Guguran lava kami amati karena dipicu tingginya curah hujan, sehingga menyebabkan luncuran awan panas menjauh hingga 11 km. Jarak ini melebihi jarak aman sejauh 5 km," katanya.
 
Secara saintifik, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava. Pada beberapa kasus, faktor eksternal seperti curah hujan yang tingg bisa menyebabkan thermal stress dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava.
 
"Kubah lava yang sudah tidak stabil, dipicu hadirnya curah hujan tinggi menyebabkan adanya longsor," kata Wahyudi.
1350