Home Hukum Moratorium Kepailitan-PKPU Dinilai Tak Perlu Walau Pandemi Mengoyak Perekonomian

Moratorium Kepailitan-PKPU Dinilai Tak Perlu Walau Pandemi Mengoyak Perekonomian

Jakarta, Gatra.com – Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dua tahun ke belakang mengancam kelangsungan usaha. Perbankan sebagai penyalur kredit usaha sudah mencapai titik kesabaran paling paripurna. Kalau tak bisa menahannya lebih lama, perbankan bisa saja mempailitkan debitur.

Walau begitu, pakar kepailitan dan PKPU, Hadi Subhan, mengatakan bahwa moratorium kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) saat ini sebetulnya tak perlu dan tak mendesak untuk dilakukan.

“Kalau bicara soal moratorium, sebenarnya di dalam UU Kepailitan [No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU] itu ada chapter moratorium yang disebut PKPU. PKPU itu hakikatnya adalah moratorium terhadap pembayaran utang orang-orang yang sulit ini,” kata Hadi dalam sebuah talkshow yang digelar pada Kamis, (9/12/2021).

“Makanya kami akademisi bingung kalau UU Kepailitan dan PKPU dimoratorium, itu [artinya] juga memoratorium-moratorium itu [sendiri] sehingga sebetulnya tidak urgent tentang moratorium PKPU ini,” imbuh Hadi.

“Yang urgent adalah bagaimana memberikan kesempatan kepada debitur untuk going concern, melakukan kegiatan usaha, dan itu ada di PKPU,” tandas Hadi.

Hadi justru melihat permasalahannya bukan terletak pada UU Kepailitan dan PKPU ini. Menurutnya, persoalannya justru terletak pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Pada Pasal 142 UU tersebut, tertuang bahwa PT harus dibubarkan apabila perusahaan tersebut mengalami insolvensi (tidak mampu membayar utang).

Kata Hadi, penegasan di UU PT tersebut tak sejalan dengan yang tertuang di dalam UU Kepailitan dan PKPU. “Begitu asetnya sudah diselesaikan, kembalikan kepada debitur. Silakan lanjutkan usaha. Makanya sebenarnya UU ini mendorong para kreditur, meskipun recovery-nya rendah, tetapi nanti ketika mulai berusaha lagi, itu bisa bangkit lagi dan recovery rate bisa meningkat lagi,” jelasnya.

Senada dengan Hadi, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, pun mengatakan hal serupa. Ia mengatakan bahwa moratorium kepailitan dan PKPU sebenarnya sudah terakomodir dalam UU No. 37 Tahun 2004. Namun, ia menegaskan bahwa moratorium dalam bentuk lain ini diharapkan bisa menjadi indikasi penegasan dalam upaya mencegah risiko moral (moral hazard).

“Jadi, dalam tanda kutip kita mencegah supaya jangan sampai orang mencari kesempatan dalam kesempitan. Oleh karena itu, moratorium dulu. Di satu sisi, ada orang yang memanfaatkan moral hazard untuk kepailitan dan PKPU. Di sisi lain, kalau pengadilan tidak selektif, ini bisa berdampak luas,” kata Edward di kesempatan yang sama.

Edward mengingatkan bahwa ketika suatu perushaan dinyatakan pailit, dampaknya tak hanya akan dirasakan oleh pemilik modal, tetapi juga oleh para pekerja atau karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut yang terancam pengangguran massal apabila perusahaan tersebut mengalami pailit.

“Situasi seperti ini, kalau tidak dicegah, maka bisa menimbulkan revolusi sosial dan itu tentunya akan sangat berbahaya untuk kelangsungan perekonomian dan bahkan kelangsungan bangsa dan negara,” jelas Edward.

Lebih lanjut, Edward menerangkan bahwa pemerintah sedang melakukan revisi terhadap UU No. 37 Tahun 2004 dan revisi ini sudah masuk prolegnas. Ia mengungkapkan bahwa alasan di balik revisi ini adalah karena adanya goncangan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 terhadap sektor perekonomian nasional.

“Oleh sebab itu, ini sedang dikejar dan sedang dibahas oleh pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Kepailitan,” kata Edward.

526