Home Nasional Aksi Teatrikal Buruh Sindir Pemerintah yang Disetir Kelas Pemodal

Aksi Teatrikal Buruh Sindir Pemerintah yang Disetir Kelas Pemodal

Jakarta, Gatra.com- Ratusan massa yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) melakukan aksi damai di area Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (11/12/2021), siang sekitar pukul 12.15 WIB setelah melakukan long march dari Tugu Tani mulai pukul 10.00 WIB.

Tak hanya orasi, massa bruuh juga menampilkan aksi teatrikal yang menggambarkan posisi pemerintah, dalam hal ini eksekutif dan Mahkamah Konstitusi (MK), yang lemah di dalam cengkeraman kelas pemodal atau pengusaha.

Menurut pantaun Gatra.com di lokasi aksi, tampak seseorang yang berdiri di atas mobil pick-up yang berperan sebagai pihak pemodal. Dengan ikat rapia, ia mencengkeram dua pemeran teatrikal lainnya di atas jalanan. Ikat itu disebut menyimbolkan cengkeraman kapital terhadap kedaulatan politik Indonesia.

Secara spesifik, Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Herman Abdulrohman, menjelaskan bahwa aksi teatrikal tersebut merupakan sindiran terhadap diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang berlaku Februari tahun ini.

Aksi teatrikal tersebut, kata Herman, juga menggambarkan kongkalikong antara pengusaha dan pihak legislatif, yudikatif, dan penegak hukum dalam melahirkan kebijakan yang menurutnya anit-kesejahteraan rakyat.

“Tadi digambarkan kan bahwa pengusaha mengikat hakim, presiden, dan penegak hukum sehingga itu saling tali-temali. Itu saling mempengaruhi,” kata Herman ketika ditemui Gatra.com selepas penampilan aksi teatrikal tersebut.

“Untuk menentukan upah sendiri, pemerintah sepertinya menunggu apa yang diinginkan oleh pengusaha. Apa yang diminta buruh 15% itu tidak pernah digubris. Minta 10% tidak pernah digubris. Bahkan kami juga meminta yang lebih mendasar bagaimana pemerintah Indonesia memperbaiki konsep upah di Indonesia, yaitu berdasarkan keadaan real kawan-kawan buruh maupun masyarakat luas,” tutur Herman.

Dalam pandangan Herman, MK seharusnya tegas mencabut dan tak memberlakukan Omnibus Law. Walau ada yang mengapresiasi, banyak juga pihak yang tetap marah dengan amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dikeluarkan pada 25 November 2021 terkait Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tersebut.

Pasalnya, putusan tersebut hanya berstatus inkonstitusional bersyarat. Belum lagi yang direvisi hanya sisi formilnya saja. Sementara seluruh uji materiilnya ditolak.

Kemarahan itulah, kata Herman, yang ditunjukkan dalam teatrikal itu. “Jangan sampai kemarahan yang terjadi di teatrikal menjadi kemarahan yang benar, menjadi meluas, karena hari ini bukan hanya buruh yang marah, tapi masyarakat desa, mahasiswa, sektor yang lain juga merasakan dengan upah yang sangat rendah, semuanya jadi terancam,” katanya.

Adegan tarik ulur dalam aksi teatrikal tersebut akhirnya berujung dengan adegan ketok palu yang menandakan dua kebijakan yang dinilai merugikan buruh di atas menjadi inkrah secara legal.

Adegan kemudian berlanjut dengan aksi para buruh yang menginjak dan menghancurkan properti teatrikal yang menyerupai bangunan gedung MK yang terbuat dari styrofoam dan papan bertuliskan UU Cipta Kerja. Aksi teatrikal tersebut ditutup dengan kelompok buruh yang membakar properti tiruan tersebut.

“Buruh tadi dilibatkan. Buruh yang tadi marah itu, yang akhirnya melakukan pengadilan rakyat dengan meruntuhkan MK. Itu menggambarkan kemarahan masyarakat, kekecewaan terhadap MK,” tandas Herman.

391