Home Nasional FPBI Suarakan Jeritan Buruh Perempuan yang Dihimpit UU Cipta Kerja

FPBI Suarakan Jeritan Buruh Perempuan yang Dihimpit UU Cipta Kerja

Jakarta, Gatra.com - Ratusan massa yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) melakukan aksi damai di area Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (11/12/2021), siang sekitar pukul 12.15 WIB setelah melakukan long march dari Tugu Tani mulai pukul 10.00 WIB.

Mereka menyuarakan tentang terdesaknya kehidupan buruh di bawah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sudah berusia kurang lebih satu tahun, terutama terkait pemutusan hubungan kerja secara sepihak selama masa pandemi Covid-19 dan upah yang dinilai tidak layak.

Koordinator Buruh Perempuan FPBI, Khotiah, menyuarakan jeritan-jeritan kaum buruh itu. Tak hanya soal buruh laki-laki, ia juga banyak memperjuangkan hak-hak buruh perempuan.

“Pihak pemerintah hari ini tidak berpihak bagi kaum buruh. Pemerintah tidak punya ketegasan. Mereka cuma mengeluarkan edaran. Kan udah jelas di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 siapa pun pengusaha yang membayar upah di bawah UMP, itu udah jelas akan dipidana,” kata Khotiah saat ditemui Gatra.com selepas ia berorasi.

Khotiah menyebut bahwa dalam situasi ini, buruh perempuan lebih banyak dihantui kerentanan. Sebagai contoh, terkait cuti haid. Apabila merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh perempuan diperbolehkan mengambil cuti selama dua hari.

Akan tetapi, kata Khotiah, pada kenyataannya, banyak perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Parahnya lagi, walau melanggar, pihak perusahaan tak mendapatkan hukum pidana.

Walaupun masih diperbolehkan untuk mengambil cuti haid, kata Khotiah, syaratnya makin dipersulit. Buruh perempuan diminta untuk menunjukkan surat dokter atau bukti kalau dia sedang haid. Ironisnya, kata Khotiah, banyak koordinator di pabrik-pabrik itu yang juga berjenis kelamin perempuan yang tidak peka terhadap kondisi haid para buruhnya.

Dalam konteks upah tak layak, kata Khotiah, banyak buruh perempuan yang makin terhimpit kondisi ekonominya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka juga bereperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) di keluarga mereka.

Bahan-bahan pokok seperti minyak dengen merek-merek tertentu pada saat ini sudah mencapai harga Rp43.000 per kemasan. “Saya sudah survei ke mana-mana. Paling murah itu Rp38.000-Rp39.000. Bagaimana untuk belanja buruh perempuan sehari-hari?” katanya.

Sementara itu, selama pandemi Covid-19, Khotiah mencatat bahwa banyak buruh perempuan yang mengalami pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak.

Khotiah mengatakan sudah terdapat sebanyak 10 perusahaan di Jabotabek yang melakukan hal tersebut secara sepihak kepada buruh perempuan. Mayoritas dari buruh-buruh perempuan itu bekerja di perusahaan tekstil.

“Mereka dirumahkan tanpa kejelasan. Upahnya nggak dibayar. Tiba-tiba mereka di-PHK, secara sepihak. Tiba-tiba pengusahanya kabur. Di mana pemerintah hari ini? Tidak ada. Tidak ada tanggung jawabnya pemerintahan ini,” keluh Khotiah.

Khotiah mengatakan bahwa pihaknya juga sudah pernah mengadu ke pihak Disnaker. Akan tetapi, ia kecewa dnegan pihak Disnaker yang merespons aduan itu dengan kata-kata klasik seperti berikut: “Kenapa baru melaporkan hari ini?”

Menggantungkan asa ke pemerintah menjadi semacam mustahil. Pihak buruh pun mencoba menaruh kepercayaan kepada DPR sebagai perwakilan mereka. Akan tetapi, kata Khotiah, DPR juga tak peka terhadap situasi buruh perempuan walau Ketua DPR saat ini, Puan Maharani, juga merupakan seorang perempuan.

Sementara itu, soal kenaikan Upah Minimum (UM) skala nasional yang naik hanya 1,09%, Khotiah pun mengungkapkan kekecewaannya. Pasalnya, permintaan kenaikan upah kaum buruh masih jauh di atas angka itu, yaitu sebesar 15%.

Untuk itu, Khotiah berharap kepada pihak pemerintah untuk segera menaikkan upah buruh. “Saya mendesak banget ke pemerintah hari ini. Siapa pun pemerintahnya hari ini, tolong upah buruh jangan sampai nggak naik,” katanya.

“Saya minta ke pihak Presiden Jokowi. Segeralah upah buruh itu jangan sampai tidak naik. Kalau tidak naik, bagaimana nasibnya yang punya anak? Sedangkan upah hari ini yang berlaku adalah upah lajang, bukan upah keluarga,” tandas Khotiah.

 

635