Home Politik Valina: Oposisi di DPR Lemah

Valina: Oposisi di DPR Lemah

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Valina Singka Subekti, menyatakan bahwa partai politik (parpol) mesti diperkuat guna meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Penguatan itu meliputi rekrutmen, kaderisasi, ideologi, dan kemandirian politik.

“Sehingga, pada saatnya dapat mendorong tumbuhnya oposisi yang efektif di parlemen. Kita mengetahui Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan, dan yang menjadi tiangnya adalah partai politik dan parlemen,” tutur Valina dalam diskusi daring, Selasa (14/12).

Menurutnya, ketiadaan oposisi yang kuat di DPR dan masyarakat sipil dapat menyebabkan minimnya kontrol. Selain itu, juga bisa menyumbat kreativitas anggota DPR untuk mengajukan berbagai usulan alternatif kebijakan guna memajukan Indonesia dan pro kepentingan rakyat.

Valina menuturkan, oposisi yang lemah mengakibatkan struktur kekuasaan parlemen dan eksekutif menjadi tak berimbang. Keadaan ini bisa melemahkan fungsi kontrol politik DPR, melemahkan checks and balances, serta berdampak pada hadirnya UU yang elitis dan kurang aspiratif.

“Kita dapat melihat kualitas regulasi terbaru melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja karena dalam pertimbangannya dinilai tidak memenuhi aspek keterbukaan publik,” jelasnya sambil menyebut kualitas regulasi menunjukkan mutu parlemen dan parpol.

Tak hanya itu, capaian program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI selama tahun 2021 sangat rendah. DPR hanya mampu menyelesaikan 7 rancangan undang-undang (RUU) dari 37 RUU dalam Prolegnas.

“Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2020 yang cuma mampu menyelesaikan satu RUU menjadi UU, yakni UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara [UU Minerba],” terangnya.

Lebih lanjut, Valina menyoroti komposisi latar belakang para anggota DPR. Sebanyak 55% atau 318 anggota DPR RI berasal dari kelompok pebisnis. Data ini mengindikasikan potensi konflik kepentingan dalam pembuataan UU akan semakin tinggi.

Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai DPR RI periode 2019–2024 masih sekadar ‘tukang stempel’ bagi pemerintah. Sebab, empat dari lima RUU Prioritas yang disahkan DPR sejak 2020 merupakan usulan pemerintah.

“Fakta bahwa baru satu RUU usulan DPR yang disahkan dalam dua tahun terakhir memunculkan pertanyaan soal tanggung jawab DPR sebagai pengusul RUU, yakni apakah RUU usulan pemerintah memang dianggap paling mendesak dibandingkan RUU usulan DPR?” ungkap Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma, Kamis (28/10).

Menurut Made, cepatnya penuntasan lima RUU tersebut juga dapat mengonfirmasi relasi timpang antara DPR dan pemerintah. Dia pun menganggap klaim masyarakat bahwa DPR sekadar menjadi ‘tukang stempel’ pemerintah mungkin ada benarnya.

“DPR yang dikritik memble kinerja legislasinya justru bisa ngebut menyelesaikan RUU permintaan pemerintah. Kinerja legislasi DPR masa sidang I tahun sidang 2021-2022 belum mampu mengakhiri paceklik kinerja DPR pada masa sidang-masa sidang sebelumnya,” jelas Made.

337