Home Hukum Catatan Akhir Tahun 2021 APHA Soroti Kasus Tanah Ulayat

Catatan Akhir Tahun 2021 APHA Soroti Kasus Tanah Ulayat

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyampaikan catatan akhir perjalanan 2021. Dalam catatan APHA Indonesia ini di antaranya menyoroti kasus sengketa tanah ulayat dan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA).

“Tahun 2021 ini juga masih diramaikan dengan kasus sengketa tanah ulayat milik masyarakat adat yang sangat merugikan eksistensi masyarakat adat,” kata Laksanto Utomo, Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia dalam pernyataan pada Rabu (15/12).

Laksanto mengungkapkan, masyarakat adat menuntut hak ulayatnya yang sudah dimiliki dan dikelola secara turun temurun harus berhadapan dengan pemerintah daerah, pengusaha, dan bahkan dengan TNI.

Menurut Laksanto, kasus sengketa lahan miliki masyarakat adat Desa Marafenfen di Kepulauan Aru, Maluku, yang dirampas oleh salah satu matra tentara tersebut seluas 689 hektare.

Ia menjelaskan, kasus ini bermula lahan yang disengketakan warga dengan tentara itu ada di Desa Marefenfen, Kecamatan Aru Selatan, dengan luas 689 hektare diambil pihak militer pada tahun 1991.

“TNI AL dahulu datang langsung ukur patok dan merampas tanah tersebut. Saat itu, TNI AL mendatangi desa dan membuat patok,” katanya.

Beberapa waktu kemudian, lanjut Laksanto, mereka datang dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mengukur lahan. Pihak tentara kemudian disebut memanipulasi dukungan warga untuk mengakui tanah tersebut milik mimiter.

Bahkan, lanjut Laksanto, dari keterangan kuasa hukum masyarakat adat Marafenfen, pihak tentara memanipulasi dukungan 100 warga berupa kesepakatan pelepasan lahan. Pada dokumen yang digunakan itu tercantum warga yang sudah tidak berada di Aru dan sebagian lagi masih anak-anak.

Sengketa tanah ulayat lainnya adalah milik masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kasus tersebut juga mewarnai sengketa tanah ulayat pada tahun 2021.

“Masyarakat adat menuntut hak ulayatnya yang digunakan oleh perusahaan rerkebunan sawit di mana penggunaan lahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Timur pada tahun 2006 yang memberikan hak 14.350 hektare lahan untuk membuka perkebunan sawit,” ujarnya.

Kasus eksploitasi pariwisata juga terjadi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Eksploitasi pariwisata ini berpotensi menimbulkan erosi kultural yang berdampak pada ekologi, yakni perjumpaan antara kebijakan yang dikemas dalam “hukum negara“ (baik yang dibuat pemerintah daerah maupun pemerintah pusat) tidak dapat bersimbiosis yang saling menunjang dalam lingkup sosial lokal (kawasan kultural), yang di dalamnya terdapat masyarakat yang diatur oleh hukum lokal atau hukum adat.

“APHA merasa prihatin terhadap terjadinya sengketa tanah ulayat yang menimpa masyarakat adat di Indonesia,” ungkapnya.

Masyarakat adat yang dengan kearifan lokalnya notabene adalah penjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan, menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah, sehingga masyarakat adat harus tersingkirkan dari tanah adat miliknya.

“Awal tahun 2021 APHA mengharapkan bahwa pada tahun ini adalah momentum adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi eksistensi masyarakat adat melalui pengesahaan RUU Masyarakat Hukum Adat. Namun harapan tersebut hingga akhir tahun tidak juga terealisasi,” tandasnya.

APHA Indonesia menilai bahwa Pemerintah dan DPR seperti setengah hati untuk mengesahkan RUU MHA menjadi undang-undang. Hal ini terlihat dari adanya RDPU APHA dengan DPR RI maupun DPD RI sejak awal tahun 2018 hingga kini tidak ada kemajuan yang signifikan terhadap pengesahaan RUU MHA.

“Sebagai organisasi akademisi, APHA juga berkomitmen menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam roda keorganisasiannya,” kata Laksanto.

Ia melanjutkan, di bidang akademis, APHA berhasil mengesahkan Rencana Pembelajaran Semesater (RPS) menjadi Pembelajaran Semester bagi mata kuliah hukum adat. Selain itu juga, pembentukan LKBH sebagai lembaga bantuan hukum APHA merupakan wujud dari pengabdian APHA untuk masyarakat, terutama masyarakat adat di Indonesia.

Sampai akhir tahun 2021 yang masih dilanda pandemi Covid-19, masyarakat adat telah menunjukkan kedisiplinan dan kepatuhan mereka dalam memutus rantai penyebaran viru tersebut. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dan dilaksanakan secara turun temurun, terbukti menjadi salah satu protokol kesehatan yang berlaku di Indonesia.

“Kearifan masyarakat adat telah berperan membantu meringankan beban masyatakat di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya.

Menurut Laksanto, kebiasaan gotong rotong, sanitasi lingkungan secara tradisional serta membagikan sebagian hasil panen sebagai kearifan lokal masyarakat adat dalam kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan.

“Selain itu, kebiasaan mencuci tangan dan kaki sebelum masuk ke rumah sekarang telah menjadi salah satu cara dalam mencegah terjangkitnya virus corona,” katanya.

Sebagai akhir dari catatan akhir tahun ini, APHA tetap berkomitmen kuat untuk mengawal pengesahan RUU MHA menjadi UU. “Semoga impian seluruh masyarakat adat dan setiap insan yang peduli terhadap eksistensi masyarakat adat di Indonesia terwujud di tahun 2022,” katanya.

2196