Home Hukum Kasus Asabri, Pakar Hukum: Penyelenggara Negera Dituntut Lebih Berat

Kasus Asabri, Pakar Hukum: Penyelenggara Negera Dituntut Lebih Berat

Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno menilai penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat, dibandingkan pihak swasta dalam kasus-kasus korupsi. Korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau PNS.

Hal ini disampaikan Nur menanggapi perbedaan tuntutan dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi, pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (persero) di mana pihak swasta yakni Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba Heru Hidayat dituntut pidana hukuman mati sementara sejumlah mantan direksi PT Asabri yang menjadi terdakwa hanya dituntut dengan pidana hukuman penjara 10 sampai 15 tahun.

“Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatan pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Nur kepada wartawan, Selasa (21/12).

Nur menegaskan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS. Karena penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.

“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” ujarnya.

Dia juga menegaskan ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.


“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” jelas Nur.

Sementara itu Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan dengan tegas menilai tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus Asabri tidak adil. Pasalnya, terdakwa Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT Asabri dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.

“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil,” tutur Dian.

Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta, umumnya, kata Dian, dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.

“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor junto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” jelas Dian.

Dian mengibaratkan kasus korupsi ini dengan permainan bulutangkis ganda. Jika satu pemain salah, maka yang lain juga salah dan hukumannya juga berdampak untuk semua dan sama.

“Kalau kasus Asabri ini, justru yang utama dilihat itu pihak penyelenggara negara, baru pihak swasta Pasal 55 KUHP. Tetapi kemudian kenapa yang Pasal 55 (swasta) justru lebih tinggi ancaman hukumannya. Itu kan nggak logis, justru penyelenggara negaranya yang harus lebih tinggi karena ketentuan korupsi kan untuk penyelenggara negara sebenarnya. Aneh ini,” kata Dian.

386