Home Ekonomi Kaum Difabel Berpeluang Menjadi Aktor Penting di e-Commerce

Kaum Difabel Berpeluang Menjadi Aktor Penting di e-Commerce

Jakarta, Gatra.com – Head of Center, Center of Innovation and Digital Economy INDEF, Nailul Huda, menyampaikan, kaum difabel berpeluang besar untuk menjadi pemain penting di e-commerce Indonesia.

“Bisa enggak sih kaum difabel ini menjadi penjual di e-commerce? Menurut data pekerja difabel yang kebanyakan berwirausaha dan potensi e-commerce yang sangat besar di Indonesia, itu mejadikan pelung itu ada,” kata Nailul dalam webinar bertajuk “Difabel Berdaya, Dukung Pemulihan Ekonomi” pada Selasa (21/12).

Menurut Nailul, kaum difabel bisa menjadi menjadi pemain penting di penjualan daring dengan memanfaatkan e-commerce seperti Tokopedia sebagai pintu masuk ke ekosistem tersebut.

“Kalau saya lihat tadi banyak kaum defabel yang berwirausaha, kemudian masuknya ke e-commerce, ini yang harus ditangkap oleh penyedia atau platform e-commerce di Indonesia bahwa kaum difabel ini bisa menjadi salah satu aktor peting dalam perkembangan e-commerce ke depan,” katanya.

Nailul berpendapat, kaum difabel bisa masuk ke e-commerce karena potensi e-commerce di Tanah Air ini berkembang sangat pesat. Ini tejadi karena berubahnya pola belanja masyarakat Indonesia dari luring (offline) ke daring (online) yang salah satunya dipicu oleh pandemi Covid-19.

“Mungkin kita belanja online ini 4 kali, di tengah pandemi ini bisa belanja 8-9 kali. Artinya, ada peningkatan 2 kali lipat pola belanja masyarakat kita di online atau e-commerce,” ungkapnya.

Menurutnya, ini menjadi peluang bagi kaum difabel untuk bisa menjadi salah satu aktor dan menjadikan e-commerce ini lebih inklusif. Salah satu bidang yang bisa diambil yakni food delivery yang pangsa pasarnya cukup besar, yakni sekitar 35% akibat bergesernya pola belanja masyarakat dari luring ke daring.

“Kaum difabel bisa masuk step by step ke e-commerce. Artinya adalah di dunia online market sendiri kita tidak bisa langsung melompat, dari tidak mempunyai pengalman tiba-tiba masuk website. Itu ada tahapan di media penjualan online, pertama pesan, kedua media sosial, ketiga marketplace, dan keempat website,” ujarnya.

Menurutnya, jika kaum difabel pemula mau terjun ke dunia penjualan daring, yang paling mudah dijangkau adalah tahap pertama, yakni pesan. “Artinya, pangsa pasar itu adalah orang-orang yang dikenal oleh individu atau pembeli-pembeli, baru ke media sosial, marketplace hingga website,” katanya.

Nailul menjelaskan, kaum difabel bisa memanfaatkan penjualan daring mengingat potensi Indonesia di bidang ini sangat besar. Menurut data Google, Indonesia bisa dibilang merupakan rajanya di kawasan Asia Tenggara.

“Karena kalau kita lihat jumlah penduduk yang besar, penetrasi, dan sebagainya menunjukkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di ASEAN,” ujarnya.

Bahkan, lanjut Nailul, hampir 40% ekonomi digital di ASEAN dimiliki Indonesia dan ini perkembangannya sanga pesat. Pada tahun 2020 ke 2021 peningkatannya cukup tajam.

“Kalau merujuk ekonomi digital Indonesia itu e-commerce menyumbang sekitar 75% dari ekonomi digital secara keseluruhan. Jadi ekonomi digital Indonesia ditopang oleh e-commerce,” katanya.

Namun demikian, Nailul menyampaikan bahwa ‎minimnya akses internet masih menjadi tantangan bagi difabel. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2021 memperlihatkan, hanya 9% penyandang disabilitas yang mendapatkan akses internet. Itu artinya, ada 91% penyandang disabilitas yang tidak memiliki akses interet. 

Webinar bertajuk “Difabel Berdaya, Dukung Pemulihan Ekonomi”. (Ist)

Kondisi itu tentunya memperihatinkan. Mengingat, akses internet menjadi sesuatu yang penting untuk mengembangkan ekonomi digital, dan difabel juga memiliki hak membantu pemulihan ekonomi melalui pengembangan ekonomi digital. “Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan internet bagi semua pihak, termasuk difabel,” katanya.

Meski demikian, difabel tidak bisa menunggu lebih lama lagi ketersediaan internet. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, pandemi Covid-19 menyebabkan 38,57% tenaga kerja difabel kehilangan pekerjaannya. “Pada 2019, pekerja difabel berjumlah 366.350 orang dan pada 2020 jumlahnya berkurang 38,57% menjadi 255.048 pekerja,” ungkapnya.
 
Makanya, menjalankan bisnis online bisa menjadi pilihan bagi difabel untuk bangkit sekaligus membantu memulihkan ekonomi. Untuk itu, Nailul menyarankan agar difabel berkolaborasi dengan pihak lain, sehingga mempercepat proses masuk ke e-commerce.

Hal itu diyakininya bisa berdampak positif bagi kaum difabel maupun negara. Pasalnya, Indef menemukan kalau ekonomi digital memberikan kemudahan dan seharusnya juga bisa dimanfatkan difabel untuk berdaya saing.

Sementara itu, pemilik The Able Art, Tommy Budianto, mengakui, aksesibilitas internet difabel masih kurang. Namun demikian, itu tidak menjadi alasan kaum difabel menyerah. “Jangan menyerah, karena di luar sana banyak difabel yang bisa sukses dengan segala keterbatasannya. Bisa berkarya dan menjadi role model,” ujarnya.

Dia pun berharap agar pemangku kepentingan bisa meningkatkan angka melek digital difabel. Hal itu diyakininya akan menjadi pemacu dan semangat bagi difabel untuk ikut mengembangkan ekonomi digital dan tentunya berkontribusi pada pemulihan ekonomi negara.

‎Public Affairs Senior Lead Tokopedia, Aditia Grasio Nelwan, mengatakan, Tokopedia hadir menciptakan ekosistem yang inklusif, menyasar semua kalangan, termasuk penyandang difabel.

"Kami ingin memberikan cara yang mudah dan nyaman untuk memenuhi kebutuhan pengguna sehingga bisa fokus dalam mengembangkan bisnisnya. Kami mendukung siapa pun untuk mulai saja dahulu, semua selalu ada, dan selalu bisa,” katanya.

Dengan mengedepankan inklusifitas, Tokopedia berkeyakinan setiap orang yang mempunyai niat dalam berusaha bisa menemukan peluang. Sehingga Tokopedia terus mengupayakan berbagai kemudahan dan memberikannya kepada pengguna, termasuk difabel.

Bahkan belum lama ini, Tokopedia meluncurkan fitur voice over. Fitur ini memudahkan penyandang difabel netra menggunakan platform Tokopedia. Jauh sebelumnya, kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Tokopedia telah menyasar kepada difabel, agar mereka bisa mandiri secara sosial dan ekonomi.

“Sejak 2018 kami melakukan pemberdayaan kepada teman-teman difabel di delapan provinsi. Ada pendampingan bisnis, bantuan alat produksi, hingga pelatihan e-commerce,” katanya.

196