Home Regional PWI Jateng: Media Digital Bak Rimba Raya, Siapa Kuat Akan Bertahan

PWI Jateng: Media Digital Bak Rimba Raya, Siapa Kuat Akan Bertahan

Semarang, Gatra.com - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah menilai sepanjang 2021 dinamika praktik bermedia terutama ruang digital memperlihatkan kondisi bak rimba raya.

Di mana siapa kuat, maka dialah yang akan survive, bertahan hidup. Ruang digital juga terasa keruh, karena para pelaku media cenderung lemah dalam eksplorasi etika.

Kondisi tersebut membutuhkan penguatan kearifan berkomunikasi, baik dalam ranah media massa (media mainstream) maupun media sosial.

Hal itu disampaikan Ketua PWI Jawa Tengah (Jateng) Amir Machmud NS, didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dalam pernyataan "Sikap Akhir Tahun 2021" di Semarang, Minggu (26/12).

Menurutnya, fenomena pemanfaatan media mainstream untuk memenangi opini, antara lain dengan bersikap ofensif kepada lawan politik, berjalan beriring dengan penggunaan platform-platform media sosial yang juga banyak menyampaikan unggahan-unggahan bersifat menyerang, menista, dan mem-bully.

“Kasus-kasus yang kemudian berproses di ranah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menggambarkan konsekuensi berupa celah eksplorasi kearifan dalam mempertimbangkan akibat-akibat,” kata Amir.

Ia menyebut, sinyalemen itu terlihat di mana orang atau kelompok cenderung main posting semaunya untuk meluapkan ekspresi.

“Sekarang ini berkembang fenomena begitu mudah orang menyerang pihak lain, dan begitu gampang kemudian meminta maaf,” ujarnnya.

Lebih lanjut Amir menyatakan, PWI Jateng juga melihat fenomena lain pada sepanjang 2021, meski dalam suasana pandemi COVID-19, media online tumbuh subur.

Namun, pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan keberkembangan watak berkesadaran untuk meliterasi diri sendiri, sehingga yang muncul justru bobot pemberitaan banyak bersinggungan dengan masalah prosedur standar jurnalistik seperti lemahnya akuntabilitas dan minimnya disiplin verifikasi.

Amir mengingatkan, menjelang kontestasi besar politik 2024, wartawan dan media makin mendewasakan sikap agar tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang bertarung.

Selain itu penyediaan ruang untuk netizen yang mengomentari sebuah isu publik tertentu dalam rubrik resmi media arus utama, secara tidak sadar menyuburkan sikap-sikap rasis dan antidemokrasi.

“Walaupun kanal ekspresi publik itu tentu dibuka atas nama kemerdekaan berpendapat, secara langsung menjadi forum liar untuk menyampaikan apa saja tanpa filter dari aspek pelanggaran SARA, diskriminasi, dan berpotensi melukai nilai-nilai kebhinekaan,” ujarnya.

Menurut Amir, kampus perlu didorong dan dijaga menjadi wilayah yang ikut berkontribusi mengawal nilai-nilai demokrasi, bukan justru memberi ruang kepada akademisi untuk menjadi bagian dari elemen antidemokrasi dengan menjadi buzzer.

Pengawalan eksplorasi etika media, menuntut penghayatan sikap dan karakter berjurnalistik yang berpatokan pada nilai-nilai moral, yakni menjaga agenda sosial media untuk membangun kepercayaan publik lewat pemberitaan yang akuntabel, berdisiplin verifikasi, dan bernarasi positif.

“Agenda sosial media merupakan keniscayaan untuk menjaga agar sikap berjurnalistik dan sikap bermedia tetap dalam trek kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Amir menambahkan, konsistensi literasi digital menjadi jawaban dari proses pendewasaan mengelola informasi dan gawai secara terus menerus.

Literasi digital untuk berbagai kelompok masyarakat di semua level dan struktur sosial adalah proses pendidikan dan transformasi perilaku yang tidak akan pernah usai.

“Pernyataan sikap pada setiap akhir tahun, menjadi tradisi yang dikembangkan oleh PWI Jateng sebagai evaluasi, penilaian, dan proyeksi tentang ekspresi kecintaan dunia kewartawanan terhadap keindonesiaan,” pungkas Amir.

1243