Home Kolom DELOS dan Budidaya Tambak Udang Berbasis Teknologi (Bag. II)

DELOS dan Budidaya Tambak Udang Berbasis Teknologi (Bag. II)

Wawancara Khusus

Chief Executive Officer (CEO) DELOS

Guntur Mallarangeng

“Terapkan Teknologi dan Sains Genjot Optimalisasi Tambak Udang”

-------------

 

Pengembangan budidaya berbasis teknologi. Ide itu yang mengantarkan DELOS— startup aquatech Indonesia — mengembangkan jasa konsultansi teknologi bagi petambak udang. Adaptasi teknologi kerap menjadi persoalan klasik bagi industri tambak udang di tanah air. Prediksi yang tidak akurat dalam perhitungan pakan hingga buruknya kualitas air di tambak menjadi faktor yang menghalangi produktivitas.

Dari sana, DELOS hadir mengatasi problem tradisional petambak dengan merancang software khusus yang dinamai Aquahero. Aquahero bekerja layaknya “konsultan” bagi petambak dalam memonitor kondisi tambaknya lewat gawai. Keberadaan software itu mampu menjaga akurasi perkiraan dan rekomendasi tindakan. Teknologi Aquahero memantau sistem SOP manajemen dan pengawasan yang dilakukan, pemantauan data siklus, sistem supply chain dari hulu ke hilir, dan permasalahan financing.

Chief Executive Officer (CEO) DELOS, Guntur Mallarangeng mengatakan, Indonesia dapat menjadi negara yang potensial sebagai pemain industri akuakultur berkelanjutan. Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km didukung sumber daya manusia pesisir yang melimpah serta iklim tropisnya, Indonesia punya potensi besar dalam pengembangan usaha tambak udang.

Komoditas udang Indonesia diyakini mampu bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur berharga kedua di dunia, terutama dalam pasar ekspor makanan laut. Permintaan global untuk protein berbasis makanan laut diketahui meningkat. Saat ini akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi. Dengan perspektif itu, pemerintah Indonesia menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama tiga tahun ke depan.

Guna mengetahui lebih jauh tentang DELOS dan peranannya dalam memajukan industri tambak udang di Indonesia, wartawan Gatra Andhika Dinata mewawancarai CEO DELOS, Guntur Mallarangeng. Berikut petikan wawancara dengan sosok muda peraih gelar Master of Science dari Northwestern University itu.

Apa faktor yang penting diperhatikan dalam budidaya tambak udang?

Kalau kita bicara budidaya sama kayak ternak kambing, lele, ayam sapi, bikin sawah, itu akarnya dari pengertian bagaimana kita membuat udang berkembang dengan sehat, dan apa yang membuat kualitas air bisa bagus dan udang bisa berkembang dengan sehat. Yang penting itu airnya, medium pertumbuhannya.

Yang kedua, adalah spesiesnya sendiri. Kita sebagai DELOS, intinya adalah kita mengerti cara mengurus kualitas air dan cara mengurus pertambakan udang. Bagaimana kita membungkus itu dalam suatu aplikasi dan juga membungkus itu dari sisi teknologi softwarenya dan SOP yang harus ditaati oleh semua klien kita, itu berawal dari pengertian kita terhadap proses dari pertambakan udang itu sendiri. Yang kita ajarkan ke petambak, semua keputusan operasional yang diambil, itu harus berdasarkan data.

Kenapa petambak udang di Indonesia itu masih rendah produktivitasnya? Karena orang masih nambak dengan feeling dan perasaan, juga dengan doa dan iman. Doa itu bagus, tapi harus ada usaha dong. Usaha yang dilakukan oleh petambak udang dan seperti di semua bisnis yang berorientasi binatang atau makhluk hidup, harus mengerti ilmiahnya. Kalau kita ingin membuat keputusan, apakah kita mau nambahi makanan atau kita kasih obat, apakah kita harus angkat cepat atau airnya harus didaur ulang. Itu semua keputusan itu harus diambil dengan melihat parameter air kita, misalkan amonia, oksigen, PH, naik atau turun dalam batas wajar atau enggak. Kalau dalam batas wajar berarti masalahnya adalah ini. Kalau masalahnya adalah amonia berarti solusinya kira-kira A, B, C.

Teknologi Aquahero menggenjot produktivitas petambak tradisional?

Dengan asumsi bahwa infrastrukturnya enggak berubah, kita udah pernah meningkatkan salah satu klien kita, dari 7-8 ton per hektare menjadi 15 ton per hektare air, dua kali lipat. Tapi kita percaya dengan infrastruktur sekarang, dengan perbaikan infrastruktur sedikit, itu bisa meningkatkan dari 15 ton per hektare menjadi 25-30 ton per hektare. Target kita sebenarnya adalah itu. Itulah research, teknologi, dan SOP yang kita terapkan, biar mendekati angka-angka itu. Di Indonesia itu 10-15 ton per hektare, itu kalau kita punya SOP dan infrastruktur yang bagus. Kalau tambak tradisional, di bawah 5 ton per hektare. Jadi, sebenarnya yang kita lakukan adalah menerapkan teknologi dan sains dibungkus dalam aplikasi dan sistem operasional DELOS dan menerapkan ke tambak-tambak yang belum optimal.

Seperti apa peran Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) dalam mendukung bisnis tambak udang?

Jadi, ada beberapa komponen. Ada komponen infrastruktur, ada komponen hardware, komponen software, sama komponen konsultan yang tinggal di tempat. Yang kita temukan adalah kita membutuhkan empat-empatnya untuk benar-benar berhasil. Karena tanpa manusia yang mendampingi, belum tentu petambak yang menjadi klien kita menaati SOP atau menggunakan hardwarenya.

Bisa dicontohkan satu case yang memanfaatkan peran IoT ini?

Misalkan dari infrastruktur. Yang paling penting adalah sebuah tambak memiliki kolam sanitasi air untuk membersihkan air yang masuk, dan kolam sanitasi air ke luar (waste management). Itu nomor satu. Untuk hardware yang penting adalah IoT untuk pakan. Jadi, kita punya mesin automatic sendiri. Kita juga bekerja sama dengan perusahaan manufaktur untuk membuat alat deteksi kualitas air, tapi masalah IoT dan kualitas air itu tidak mungkin reliable kalau kita menggunakan satu alat aja. Sebab, untuk mendapatkan potret kualitas air yang tepat, kita perlu mengetes 50-85 parameter air, itu membutuhkan laboratorium. Butuh lab yang memiliki alat yang berbeda-beda. Tesnya kan kimia, biologi, fisika, jadi enggak cuma satu alat yang bisa dicemplungin, bisa membaca, enggak mungkin.

Jadi, sensor air itu hanya salah satu hal yang kita lakukan. Tapi itu hanya bisa memonitor hal-hal yang paling sederhana, mulai dari oksigen, salinitas, suhu, PH. Empat [parameter] ini kan enggak cukup untuk membuat keputusan yang baik, sehingga memang harus ada lab. Umumnya kita antara kita membikin lab sendiri atau menggunakan teknologi lab kita bekerja sama dengan perusahaan pakan untuk memberikan layanan lab itu secara cuma-cuma.

Bagian softwarenya adalah aplikasinya itu sendiri. Kita udah punya hardware dan kita udah punya SOP pengumpulan data. Jadi, prosesnya begini, 3 kali sehari minimal petambak harus mengambil sampel air, sampel udang, kasih ke lab. Lab yang akan menjalani beberapa tes untuk ngasih tahu kualitas air itu parameternya A, B, C, D, E segala macam. Itu ditaruh di excell sheet, lalu secara manual dari excell sheet itu akan dianalisa, dilihat dan dihitung. Baru bisa keluar analisanya, hari ini airnya bagaimana. Yang kita lakukan adalah bagaimana membuatnya real time, begitu ada teori QC (Quality Control) langsung kita upload dan analisisnya dihitung. Langsung keluar hasilnya, hari ini mitigasinya A, B, C, D, E.

**

360